Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi III DPR menerima penjelasan pemerintah terkait pemberian amnesti untuk eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka, Nurdin bin Ismail Amat alias Din Minimi dan kelompoknya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemberian amnesti dan abolisi merupakan pendekatan lunak yang diupayakan pemerintah, setelah sekitar 70 orang kelompok Din, menyerahkan diri.
"Kami membagi dua dari 70 ini. Satu, 49 orang untuk diberikan amnesti. Satu kelompok lagi, 21 orang yang ada di penjara akan kami kasih abolisi," kata Luhut di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (21/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luhut berkata, 49 orang yang akan diberi amnesti sudah tujuh bulan berbaur dengan masyarakat Aceh, sehingga membutuhkan kejelasan status hukum.
Pemberian amnesti dan abolisi, kata Luhut, setelah melalui proses diskusi dengan pakar dan pihak terkait.
"Kami sepakat untuk memberikan pengampunan kepada mereka. Itu juga menjadi salah satu syarat yang mereka berikan hingga ingin menyerahkan diri kepada negara," kata Luhut.
Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso menambahkan, pemberian amnesti sekaligus membuktikan Indonesia dapat menyelesaikan konflik bersenjata dengan jalan damai dan memperhatikan hak asasi manusia.
Ia juga menyatakan, salah satu pertimbangannya juga masih banyak anggota kelompok Din yang masih berusia di bawah 20 tahun.
"Kami dituduh melanggar HAM. Kami tunjukan, bisa mendekati mereka dengan cara damai. Ini bentuk rekonsiliasi konflik bersenjata di sana," ucap Sutiyoso.
Menurutnya, pemberian amnesti sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 14 ayat 2. Pemberian amnesti dan abolisi yang merupakan hak preogratif presiden pun harus melalui pertimbangan dari parlemen.
Sementara itu, menurut data yang dimiliki Kepolisian, total keseluruhan anggota kelompok Din Minimi tercatat sebanyak 162 orang.
Di antara 162 orang tersebut, 37 masuk dalam daftar pencarian orang karena berstatus tersangka, dan 23 berada di dalam lembaga pemasyarakatan untuk menjalani hukuman pidana.
"Nah sisa 102 ini, belum tahu statusnya. Mereka secara hukum pro justisia nya belum ada. Saran kami diproses dulu, supaya dapat status kalau akan diberikan amnesti," kata Kabareskrim Komisaris Jenderal Ari Dono.
Dengan demikian, 37 orang DPO dan 23 yang berada di Lapas, layak mendapat amnesti dan abolisi. Sebab pemberian pengampunan itu, menurut Ari, harus dilakukan secara hati-hati.
Berdasarkan dengan UU Nomor 11 Tahun 1954, Ari berkata, pemberian amnesti dan abolisi akibat hukum pidananya akan dihapuskan, dan sebuah tindakan hukum statusnya bersalah dinyatakan tak bersalah.
"Harus ada proses hukum dulu bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah. Kalau tidak ada prosesnya, tapi diberikan amnesti ini yang perlu dijadikan pertimbangan," kata Ari.
Inspektorat Jenderal TNI Letnan Jenderal Setyo Sulastro mengamini bahwa pemberian amnesti dan abolisi harus melalui proses hukum terlebih dulu untuk mendapat kejelasan status perkaranya.
Sebab, tanpa proses hukum, menurutnya pemberian amnesti dan abolisi akan membawa dampak negatif, yakni menginspirasi kelompok separatis untuk melakukan langkah serupa.
Padahal, kata Setyo, kelompok seperti itu, telah menimbulkan banyak korban, baik pihak sipil maupun aparat keamanan TNI dan Polri.
"Dua prajurit saya mati ditembak sama mereka. Tentara bertugas untuk mengamankan negara. Masak mereka langsung diamnesti," ujarnya.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menjelaskan berdasarkan kesimpulan yang disampaikan TNI dan Polri, DPR sepakat pemberian amnesti dan abolisi dimungkinkan kepada orang atau pihak yang telah menjalani proses hukum.
"Selanjutnya kami serahkan pada Menko Polhukam menindaklanjuti pertimbangan DPR ini, untuk memberikan amnesty agar seselektif mungkin dan menjamin keamanan nasional ke depan jadi lebih baik," ujar Bambang.
Din Minimi dan kelompoknya, turun gunung pada 19 Desember 2015 untuk menyerahkan diri. Keputusan Din untuk gantung senjata diinisiasi BIN dan negosiator berkewarganegaraan Finlandia dari lembaga Pacta Sunt Servanda, Juha Christensen pada pertengahan Februari lalu.
(obs)