Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah didesak menunda pelaksanaan eksekusi terpidana mati kasus narkotik hingga pembahasan Revisi Undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selesai.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengatakan, penundaan harus dilakukan karena dalam draf revisi terdapat pasal yang mengatur eksekusi mati. Araf menjelaskan, posisi eksekusi mati dalam draf tersebut telah bergeser dari pidana pokok ke pidana alternatif.
"Ada
political will dalam revisi KUHP yang diajukan pemerintah ingin sebenarnya tidak memberlakukan eksekusi mati. Seharusnya dalam saat bersamaan pemerintah tidak melakukan praktik eksekusi mati sebelum KUHP disahkan," kata Araf di kantornya, Jakarta, Minggu (24/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain karena pertimbangan revisi KUHP, Araf juga menilai pelaksanaan hukuman mati harus ditunda di tengah terungkapnya praktik peradilan yang buruk belakangan ini.
Keburukan peradilan yang dimaksud tercermin pada terungkapnya beberapa hakim agung yang diduga terlibat tindak pidana korupsi selama menjabat.
"Berbahaya hukuman mati diterapkan di tengah dinamika peradilan yang buruk. Dugaan
unfair trial tentu akan terjadi dalam peradilan yang buruk."
"Hukuman mati juga bukan jawaban untuk mengurangi kejahatan. Tidak ada korelasi efek jera dengan hukuman mati," ujarnya.
Araf juga menilai pelaksanaan eksekusi mati sarat dengan kepentingan politis. Apalagi, kabar pelaksanaan eksekusi kembali santer terdengar di tengah isu akan dilakukannya perombakan kabinet oleh Presiden Joko Widodo.
"Hukuman mati jangan bernuansa politis. Jangan sampai kemudian hukuman mati gelombang ketiga jatuh ke dalam nuansa politis karena dinamika reshuffle kabinet," katanya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengakui bahwa persiapan eksekusi mati telah melebihi 55 persen.
Menurut Prasetyo, eksekusi akan dilakukan dalam waktu dekat. Berdasarkan informasi yang beredar, terdapat 16 terpidana mati kasus narkotik yang akan dieksekusi penegak hukum tahun ini
"Sekarang sudah 55 persen persiapannya. Untuk kepastian jumlahnya saya tanyakan ke Jampidum (Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum) dulu," kata Prasetyo.
(sur)