Pengacara Terpidana Mati Asal Pakistan Temukan Bukti Baru

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Minggu, 24 Jul 2016 21:34 WIB
Presiden Jokowi dan Jaksa Agung diminta melakukan evaluasi terhadap perkara terpidana mati untuk memastikan adanya proses hukum yang benar.
Presiden Jokowi dan Jaksa Agung diminta melakukan evaluasi terhadap perkara terpidana mati untuk memastikan adanya proses hukum yang benar. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Proses hukum tidak adil (unfair trial) diduga terjadi pada persidangan kasus narkotik yang mengorbankan terpidana mati asal Pakistan, Zulfikar Ali, pada 2005 lalu. Pengungkapan dugaan itu dilakukan kuasa hukum Ali, Saut Edward Rajagukguk, Minggu (24/7).

Saut mengungkap kronologi kasus kliennya yang menyebabkan dugaan unfair trial muncul. Menurut Saut, kejanggalan kasus Ali telah tampak sejak awal pengusutan perkara dilakukan 2004 silam.

Saut menjelaskan, pada 22 November 2004 kliennya ditangkap di rumahnya pada kawasan Ciampea, Bogor, oleh polisi. Penangkapan dilakukan atas pengembangan penangkapan seorang warga negara India Gurdip Singh pada 29 Agustus 2004.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ali disebut harus bertanggungjawab atas keberadaan narkotik jenis heroin seberat 300 gram yang ditemukan Kepolisian Resor Bandara Soekarno-Hatta ketika dibawa Gurdip Singh. Usai ditangkap Singh mengaku bahwa ia membawa heroin menuju Malang atas perintah Ali.

Berbekal pengakuan tersebut, polisi pun bergerak untuk menangkap Ali. Saat penangkapan dilakukan, polisi disebut tak menemukan satu pun barang bukti narkotik dari kediaman Ali dan istrinya.

Menurut Saut, wajar jika tak ada narkotik yang ditemukan pada diri Ali. Sebabnya, Ali diyakini bukan orang yang menyuruh Singh membawa heroin dari Jakarta menuju Malang saat itu.

Ali disebut baru kenal dengan Singh dua bulan sebelum sang warga India ditangkap. Ia memang diakui membelikan tiket pesawat untuk Singh menuju Malang. Namun, pembelian itu dilakukan atas permintaan Singh kepada Ali.

"Pada 29 Agustus 2004 Gurdip Singh meneleponnya (Ali) dan minta tolong agar dibelikan tiket tujuan Surabaya. Ali tidak mengetahui tujuan Singh ke Surabaya. Sebagai teman Ali hanya membantu membeli tiket,” katanya

"Tiga bulan kemudian polisi mendatangi Rumah kontrakan Ali di Bogor. Pihak kepolisian datang tanpa memperlihatkan surat penangkapan atau disaksikan pengurus RT dan RW setempat," kata Saut di kantor LSM Imparsial, Jakarta.

Proses hukum pun dilalui Ali pasca dirinya ditangkap Polisi. Selama menjalani proses hukum itulah ketidakadilan disebut semakin menjadi-jadi.

Saut mengungkapkan, kliennya kerap mengalami penyiksaan agar mengaku memiliki heroin 300 gram. Selain itu, Ali juga tak pernah didampingi penasehat hukum dan penerjemah hingga sidang perdana di Pengadilan Negeri Tangerang digelar.

Tak hanya penyiksaan dan ketiadaan penasehat hukum, Ali juga dikatakan pernah mendapat tawaran 'berdamai' agar tak mendapat hukuman. Saut berkata, tawaran damai diberikan kepada Ali dengan imbalan mahar uang.

Karena merasa tak bersalah, Ali pun tak pernah memenuhi tawaran damai tersebut. Akibatnya, proses hukum Ali pun berlanjut.

"Saksi kunci yakni Gurdip Singh padahal juga telah mencabut keterangan di dalam BAP yang menyatakan bahwa heroin 300 gram sebenarnya bukan milik Ali, melainkan milik seorang WN Nigeria bernama Hilary," katanya.

Ali pun mendapat hukuman mati pada Juni 2005, serupa dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Singh.

11 tahun usai mendapat hukuman mati, perlawanan masih coba dilakukan Ali dan kuasa hukumnya. Walau tak boleh lagi mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus kliennya, namun Saut berharap Pemerintah dapat membebaskan Ali dari hukuman mati.

"Imparsial menilai unfair trial diduga tak hanya terjadi pada kasus Zulfikar Ali, tetapi juga pada kasus lain. Kami mendesak Presiden dan Jaksa Agung melakukan evaluasi terhadap perkara terpidana mati untuk memastikan adanya proses hukum yang benar," kata Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER