Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) tak mempersoalkan penunjukan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan yang baru. Ia bahkan memuji kemampuan Sri Mulyani.
"Baik-baik saja. Sri Mulyani jelas ketokohannya dan kemampuannya," kata Aburizal di Balai Sidang Jakarta Convention Center, Rabu (27/7).
Presiden Joko Widodo menunjuk Sri Mulyani menggantikan Bambang Brodjonegoro dalam perombakan kabinet yang diumumkan kemarin. Ical mengklaim sudah memprediksi sejak awal Sri Mulyani bakal kembali menjadi menteri dari tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, mantan Ketua Umum Golkar ini pernah berseteru dengan Sri Mulyani pada medio 2009, terkait penghentian alokasi anggaran penanganan bencana Lumpur Sidoarjo. Langkah itu diambil berdasarkan audit investigasi BPK yang menyebut bencana lumpur merupakan kesalahan PT Lapindo Brantas.
Selain itu, Sri Mulyani juga menginstruksikan Direktorat Jenderal Pajak untuk mengusut tunggakan utang pajak dan royalti batubara milik keluarga Ical, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk (Bumi), dan PT Arutmin Indonesia yang mencapai Rp2 triliun.
Ical berharap penunjukan Sri Mulyani akan berdampak positif pada perekonomian Indonesia di tiga tahun sisa umur kabinet Jokowi bekerja.
"Diharapkan lebih bisa mengawasi masalah pembangunan dan ekonomi bagi rakyat. Itu yang paling penting," ucapnya.
Tak Masalah dengan WirantoIcal juga tak mempersoalkan terkait penunjukan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan.
Mantan Panglima ABRI itu dinilai telah berpengalaman karena pernah menjabat posisi tersebut di era Presiden Abdurrahman Wahid.
"Saya yakin Pak Wiranto sudah dua kali jadi Menko Polhukam jadi nggak masalah," kata Ical.
Sementara, Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung menilai protes penunjukan Wiranto sebagai Menko Polhukam akibat dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat menjabat Panglima ABRI, harus dapat dibuktikan melalui putusan hukum secara resmi.
Selama tidak ada putusan resmi, Akbar berpendapat Wiranto belum dapat disebut bertanggungjawab dalam pelanggaran HAM khususnya ketika peristiwa 1998 yang berujung reformasi.
"Saya kira kita negara hukum. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran hukum dan HAM tentu semua serahkan pada petugas-petugas hukum," ucapnya.
(obs)