Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta revisi Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengantisipasi sejumlah hal, di antaranya soal rekrutmen para calon teroris melalui teknologi informasi.
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius menyatakan pihaknya menyerahkan revisi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada proses politik saat ini. Walaupun demikian, dia menuturkan, ada sejumlah hal yang harus diantisipasi.
Salah satunya, sambungnya, adalah makin meluasnya tindak pidana terorisme. Dia menuturkan salah satu contoh adalah soal media siber yang tak terlalu ketat pada 1990. "Dulu untuk direkrut menjadi teroris harus bertatap muka, sekarang bisa mengunakan IT," ujar dia di Istana Wakil Presiden, Senin (1/8).
Sedangkan soal rencana pelibatan TNI, dia menegaskan harus ada latar belakang yang jelas sebelum menentukan hal tersebut. Diketahui, Pasal 43 B dalam revisi undang-undang itu dinilai kontroversial, yakni mengatur keterlibatan TNI untuk menanggulangi terorisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian sebelumnya menyatakan terdapat doktrin yang berbeda antara TNI dan Polri. Hal tersebut, sambungnya, dikhawatirkan dapat memicu kontroversi dua lembaga tersebut.
"Doktrin teman-teman TNI itu yang saya pahami adalah
kill or to be killed," kata Tito saat ditemui di Mabes Polri, Jumat (22/7).
Sedangkan risiko pihak kepolisian, dia memaparkan, adalah perlawanan para terduga teroris yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Ketika itu terjadi, kata Tito, harus ada pertanggungjawaban terkait dengan hal tersebut.
(asa)