Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan tidak sepakat dengan rencana Kemeterian Hukum dan HAM menghilangkan syarat
Justice Collaborator (pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum) untuk mendapatkan remisi.
Wacana penghapusan syarat
Justice Collaborator rencananya akan digodok dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarief mengatakan, penghapusan
Justice Collaborator sebagai syarat remisi akan menguntungkan narapidana kasus korupsi. Selain itu, penghapusan
Justice Collaborator akan menghilangkan efek jera terhadap para narapidana korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami kurang sependapat (dengan penghapusan JC). Untuk mempermudah remisi bagi terpidana tindak pidana serius seperti korupsi, narkoba, dan terorisme perlu diperhatikan secara baik," ujar Laode di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/8).
Laode menuturkan, KPK tidak sependapat dengan alasan kelebihan jumlah narapidana dijadikan tameng untuk memasukan poin penghilangan
Justice Collaborator sebagai syarat remisi dalam draft revisi PP 99/2012. Menurutnya, Kemenkumham harus tetap mempertahankan peran
Justice Collaborator sebagai syarat remisi bagi para narapidana yang terlibat kejahatan luar biasa, seperti korupsi.
"Alasan penjara sudah penuh tidak berasalan. Narapidana korupsi itu mungkin 1 persen dari narapidan lain. Kami pikir pidak perlu ada revisi," ujarnya.
Sebelumnya, Kemenkumham berencana menghapus
Justice Collaborator sebagai syarat remisi bagi para narapidana kouptor yang tercantum dalam PP 99/2012. Mereka berasalan,
Juctice Collaborator sudah masuk ke dalam persidangan sebagai salah satu poin untuk menentukan hukuman terpidana korupsi.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly berkata, PP 99/2012 diundangkan dengan filosofi yang tidak sesuai. Pemerintah, kata dia, akan menerbitkan PP baru yang akan memberikan hak setara bagi seluruh narapidana.
"Kami akan perbaiki karena filosofinya menyatakan semua warga binaan harus mendapatkan revisi. Memang akan ada dampaknya ke over capacity, tapi kami harus koreksi dulu filosofinya," ucapnya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (14/6).
Yasonna menuturkan, PP 99/2012 bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis berada di atasnya, terutama UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
PP 99/2012 merupakan perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999. Perubahan kedua itu mengatur sejumlah syarat pemberian remisi bagi narapidana kasus pidana narkotik, kejahatan HAM, terorisme, keamanan negara, korupsi dan pidana transnasional lainnya. Sejumlah syarat itu antara lain bersedia menjadi
justice collaborator serta melunasi denda dan uang pengganti pidana.
(gil)