Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi mengaku mantan petinggi Grup Lippo Eddy Sindoro pernah meminta bantuannya untuk mengurus salah satu pengajuan Peninjauan Pembali (PK) suatu perkara.
Nurhadi dihadirkan sebagai saksi dalam kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia menjadi saksi bagi terdakwa pegawai PT Artha Pratama Anugrah, Doddy Aryanto Supeno.
Menurutnya, pengajuan PK tersebut dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia menghubungi Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution usai mendapatkan keluhan dari Eddy. Mantan petinggi MA itu mengklaim telah mengenal Eddy pada 1975.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pertemuan tersebut, dia meminta berkas perkara yang diminta Eddy segera dikirimkan ke Mahkamah Agung.
"Pak Eddy Sindoro mengeluh, kenapa perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dikirim-kirim. Tetapi, saya tidak tahu detail, itu bisa dikirim atau tidak," ucapnya dalam persidangan, Senin (15/8).
Walaupun demikian, Nurhadi mengatakan, dirinya tidak dapat mengingat secara rinci pertemuannya dengan Eddy. Menurutnya, sebagai Sekretaris MA, sudah menjadi kewenangan dan tanggung jawabnya untuk menghindari keluhan atau pengaduan.
Nurhadi diduga berperan dalam mempercepat pengurusan pengajuan PK yang telah lewat batas pengajuan. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebelumnya menggeledah kediaman Nurhadi. Di sana, KPK menyita uang Rp1,7 miliar dan beberapa dokumen.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat menanyakan posisi Nurhadi yang diduga sebagai promotor untuk mengatur setiap perkara yang melibatkan perusahaan Lippo Group. Kesaksian tersebut pernah dipaparkan oleh bagian hukum PT Artha Pratama Anugrah, Wresti Kristian Hesty.
Nurhadi menolak pernyataan tersebut. Dia juga menyatakan tidak mengenal Hesty.
"Saya disebut promotor itu salah sekali dan tidak benar. Saya tidak kenal saudari Hesty," ujarnya di sidang Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (15/8).
Menurut Nurhadi, dalam sidang sebelumnya dia sudah mendapatkan fitnah lantaran dianggap sebagai pengatur perkara melalui besannya yang bernama Taufik.
Dia menjelaskan Taufik sudah meninggal 25 tahun lalu dan makamnya ada di Jawa Timur. "Terlalu sering nama saya dicatut atau dijual. Saya tidak pernah ada sebutan promotor dalam pergaulan atau apa pun. Karena nama saya tetap Nurhadi," ucapnya.
JPU KPK pun menunjukkan bukti memo yang ditulis oleh Wresti. Memo itu terkait dengan sengketa tanah PT Paramount Enterprise International di Tangerang, Banten.
(asa)