Jakarta, CNN Indonesia -- Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyoroti masih banyaknya maladministrasi pelayanan publik yang mempersulit para pengusaha dalam melakukan bisnis di daerah-daerah.
Anggota ORI Adrianus Meliala menuturkan pengaduan terbanyak terkait investasi dan perdagangan berasal dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Selatan. Pengaduan kebanyakan diterima karena masih banyaknya maladministrasi dalam kepengurusan perizinan usaha.
"Maladministrasi dampaknya kepada ketidakpastian iklim usaha. Ini menjauhkan investor untuk berinvestasi. Ini harus diperbaiki," ujar Adrianus dalam diskusi
Ease of Doing Business di kantor Ombudsman RI, Senin (22/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adrianus mengatakan, ada beberapa masalah terkait bisnis yang masih sering muncul dan menyebabkan ketidakpastian iklim usaha di Indonesia.
Pertama, prosedur administrasi perizinan. Masih banyak pungutan liar yang tidak wajar terjadi pada proses pengajuan perizinan. Ketidakjelasan waktu pengeluaran izin juga menjadi salah satu faktor keengganan investor berinvestasi di daerah.
Kedua, berkaitan dengan permasalahan lahan dan tumpang tindih regulasi. Menurut Adrianus, banyak pengusaha yang mengeluhkan kompleksnya pembebasan lahan untuk usaha. Pembebasan lahan banyak menimbulkan masalah karena peta tunggal terkait pemetaan lahan belum sepenuhnya terimplementasi.
"Map tunggal belum optimal terimplementasi sehingga tumpang tindih sertifikat masih sering terjadi," kata Adrianus.
Selain itu, ketidakpastian kenaikan upah buruh dan tingginya suku bunga, kata Adrianus, juga mempengaruhi minat pengusaha untuk berinvestasi. Upah buruh menjadi sesuatu yang seharusnya bisa diprediksi demi kejelasan pengusaha dalam memprediksi faktor-faktor produksi. Terutama bagi industri usaha kecil, ketidakjelasan kenaikan upah buruh memberatkan sektor produksi perusahaan.
"Di indonesia, kenaikan upah buruh masih sangat dipengaruhi dengan ada-tidaknya demonstrasi. Mekanismenya perlu diperbaiki sehingga pengusaha bisa mengukur jelas," kata Adrianus.
Berdasarkan survey Ease of Doing Business oleh World Bank, Indonesia menduduki peringkat 109 dari 189 negara terkait indeks kemudahan berusaha. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, indeks kemudahan berusaha sangat erat kaitannya dengan tingkat korupsi di negara tersebut.
Menurut Alexander, tingginya tingkat korupsi mencerminkan masih maraknya oknum aparatur negara yang menyediakan pelayanan publik di luar regulasi dan prosedur yang seharusnya. Padahal, pemerintah merupakan aktor utama yang berkewajiban membentuk iklim usaha yang sehat di Indonesia.
Alexander menekankan pelayanan publik sangat mempengaruhi kemudahan berusaha. Semakin mudah pelayanan publik, kata dia, semakin mudah roda perekonomian untuk memenuhi upaya peningkatan kesejahteraan dan pemerataan.
Untuk itu, kata Alexander, kepastian hukum tidak hanya berlaku bagi pengusaha, tapi juga bagi aparatur negara dalam menjalankan pelayanan publik yang transparan. Pemerintah diminta bisa mengimplementasi pelayanan terpadu satu pintu secara optimal dan transparan.
KPK, kata Alexander, terus mendorong perbaikan kebijakan pelayanan publik sebagai upaya pencegahan terhadap pelanggaran tindak pidana korupsi dalam konteks pelayanan publik.
"Percuma kalau ada penindakan tanpa memaksimalkan pencegahan. Nanti jadinya keseringan Operasi Tangkap Tangan (OTT), ini (OTT) langkah terakhir," kata Alexander.
(gil/asa)