Jakarta, CNN Indonesia -- Panitia Khusus (Pansus) menghadirkan terpidana kasus Bom Bali Ali Imron bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk membahas Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di DPR, Kamis (25/8).
Namun, rapat tersebut dilakukan secara tertutup. Ali menyatakan ia dihadirkan untuk memberikan pemaparan sebagai pelaku aksi teror.
Menurut Ali, pencegahan pada penularan doktrin radikal atau terorisme perlu dilakukan. Seharusnya undang-undang ini diadakan pasca peristiwa Bom Bali I.
"Bertambahnya orang-orang yang terlibat itu (radikal dan terorisme) karena ceramah, kalau tidak ada peraturan atau hukum semakin hari semakin bertambah," ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (25/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan itu, ia mengaku menyampaikan proses dari pertama kali mengikuti kelompok terorisme yang sudah ada sejak lama di Indonesia. Mereka mendidik generasi baru dalam kelompok terorisme berdasarkan pada pengalaman masing-masing.
Ali juga mengklaim, dalam aksi teror yang dilakukannya merupakan keinginan yang murni tanpa adanya konspirasi atau pesanan dari kelompok teroris manapun.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa kelompok teroris secara global telah terbagi dua yaitu ISIS dan Al Qaeda yang sama-sama berbahaya.
Meski demikian, Ali mengatakan, tindakannya ini bukan sebagai bentuk dukungan kepada kepolisian dan Densus 88. Namun, ia mengaku bahwa apa yang dilakukan oleh Densus sudah berdasarkan pada prosedur yang ada.
Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan, kehadiran Ali Imron untuk mempermudah Revisi UU Antiterorisme sebagai langkah untuk mencegah terjadinya tindakan terorisme . Hal ini karena disampaikan langsung oleh pelaku.
"Ada hal-hal yang bisa jadi luput dalam pembuatan rancangan undang-undang itu, makanya Ali menceritakan bagaimana proses dari awal ia berkenalan hingga melakukan tindakannya," ujarnya.
Ada tiga hal yang menurutnya penting untuk dimasukkan dalam RUU Antiterorisme tersebut, yaitu pencegahan, penindakan dan rehabilitas dan kompensasi.
Suhardi mengatakan, selain sudah bicara dengan Kemenko Polhukam dan Kemenko PMK, ia akan meminta untuk Kemenkominfo juga berperan dalam pencegahan terorisme.
"Penyebaran radikal banyak melalui media sosial, tapi tidak hanya itu bisa juga melalui siaran televisi dan berita-berita maka itu Kemenkominfo harus dapat mengaturnya," ucapnya.
(yul)