Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli Lingkungan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo mengatakan, pemahaman aparat penegak hukum terkait hukum lingkungan masih rendah.
Hal ini, tutur Bambang, terbukti dengan keputusan Polda Riau memberhentikan penyidikan kasus 15 perusahaan pembakar hutan beberapa bulan lalu. Polisi memberhentikan kasus penyidikan dengan alasan kurangnya cukup bukti dan lahan yang terbakar masih dalam status sengketa.
"Kasus karhutla ini dirasa bukan yang pertama kali diselidiki oleh Polda dan Polres Riau. Jadi kalau sampai tidak menemukan bukti dirasa naif ya," ujar Bambang dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (30/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Bambang, pemberian SP3 menandakan aparat penegak hukum, khususnya polisi belum sepenuhnya mengerti tentang hukum lingkungan. Belum banyak aparat yang paham betul kerugian jangka panjang yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan.
Hal ini, tutur Bambang, dapat menghambat penegakan hukum lingkungan khususnya terkait kebakaran hutan.
"Para penyidik polisi masih lemah ya (pemahaman hukum lingkungan). Mereka masih suka bingung untuk memulai penyelidikan kasus lingkungan itu gimana," kata Bambang.
Bambang sendiri merupakan saksi ahli dalam penyidikan dua dari 15 korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka karhutla tahun 2015, yakni PT Riau Jaya Utama dan PT Pan United.
Dalam penyidikan, Ia menyatakan telah melakukan kajian dan analisa meliputi penjelasan luas lahan yang terbakar, bagaimana proses kebakaran terjadi, unsur kesengajaan, hingga kerugian yang ditimbulkan dari karhutla tersebut.
Selain itu, kata Bambang, hasil temuan juga memaparkan perusahaan tersebut faktanya tidak memiliki sarana prasarana pencegahan karhutla. Sehingga mereka tidak dapat mengantisipasi kebakaran hutan yang ada pada wilayah konsesinya.
Disamping itu, tutur Bambang, hasil overlay data letak titik panas dengan data konsesi perusahaan memaparkan bahwa kejadian kebakaran hutan benar berawal dari dalam wilayah konsesi perusahaan, yang selama ini dimentahkan oleh Polda Riau.
"Berdasarkan temuan yang saya lakukan didampingi Polres dan perusahaan, itu nyata telah terjadi tindak pidana oleh mereka (perusahaan), tapi nyatanya tetap di SP3," kata Bambang.
Bentuk Tim IndependenJaringan Kerja untuk Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak Polri untuk melakukan publik review kelayakan pemberian SP3 Polda Riau.
Menurut Wakil Koordinator Jikalahari Made Ali, Polri perlu membentuk tim independen guna mengusut kelayakan penerbitan SP3 tersebut dengan melibatkan publik.
Made menyatakan, kepolisian belum menunjukkan hasil evaluasi terkait dengan penyebab diterbitkannya SP3 bagi 15 perusahaan pembakar hutan.
"Sejak awal penghentian penyidikan saja tidak diketahui secara publik, Polri perlu usut kembali kelayakan SP3 ini," kata Made.
(obs)