Jakarta, CNN Indonesia -- Jabatan Kepala Badan Intelijen Negara tak dapat dipisahkan dari urusan politik. Hubungan spesial antara presiden dan calon pengisi jabatan nomor satu di badan telik sandi itu dianggap sebuah kewajaran.
Mantan Kepala BIN Abdullah Mahmud Hendropriyono mengatakan, selepas reformasi, pengisian pucuk jabatan badan intelijen selalu berkaitan dengan kepentingan politik. Ia menyebut fenomena itu dengan istilah
political appointee.
Pemilihan Kepala BIN serupa dengan penunjukan menteri. Presiden memiliki hak prerogatif untuk menempatkan orang kepercayaannya di pos tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi seperti menteri dan duta besar, sama-sama anggota kabinet. Dia dekat dengan presiden, maka diangkat menjadi Kepala BIN. itu
political appointee," ujar Hendro di Jakarta, Kamis (8/9).
Hendro menuturkan, sejumlah nama sempat masuk daftar calon kepala BIN. Namun
political appointee menggugurkan peluang mereka menjadi pemimpin utama di badan yang bermarkas di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta, itu.
As'ad Said Ali, menurut Hendropriyono, merupakan salah satu orang yang gagal melenggang menjadi Kepala BIN karena
political appointee.
As'ad adalah agen organik yang berkarier di BIN sejak tahun 1974. Saat Hendro menjadi kepala di institusi itu, As'ad duduk sebagai wakilnya.
 As'ad Said Ali (kiri) berbincang dengan politikus PDIP Tubagus Hasanuddin (kanan). (ANTARA/Andika Wahyu) |
Secara terpisah, As'ad enggan mengomentari pernyataan Hendro yang menyebutnya nyaris menjadi orang nomor satu di BIN. Meski demikian, ia setuju dengan pendapat Hendro tentang nuansa politik di balik pemilihan kepala BIN.
"Kepala BIN memang bersifat politis. Seperti menteri, jabatan itu kan
president's men," ujarnya.
As'ad mengatakan, untuk menyeimbangkan organisasi, Kepala BIN harus ditopang orang-orang yang menguasai teknis dan prosedur intelijen.
Nomenklatur BIN dibentuk pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sebelumnya, lembaga itu bernama Badan Koordinasi Intelijen Negara.
Sejak perubahan nomenklatur itu, BIN telah dipimpin enam pejabat berbeda. Para era Gus Dur, posisi itu dipegang Arie Jefrry Kumaat. Ia dipilih untuk menjalankan kegiatan intelijen negara yang tengah direstrukturisasi Gus Dur.
Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur, ia menunjuk Hendropriyono memimpin BIN. Buku
The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power menyebut Hendro dekat dengan Megawati sejak 1993.
Penulis buku itu, Angel Rabasa dan John Haseman, menyebut Hendro yang kala itu masih bertugas di Badan Intelijen Strategis TNI berperan melapangkan jalan Mega menjadi pemimpin PDI.
"Hendropriyono adalah anggota pemerintahan Mega yang paling bersedia menghadapi ancaman terorisme dan kelompok Islam ekstrem," tulis mereka.
Selepas Hendro, estafet kepemipinan BIN berlanjut ke Syamsir Siregar. Sebagai anggota tim sukses, Syamsir disebut berperan pada kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono di Pemilu Presiden 2014.
Secara berturut-turut, SBY mengganti Kepala BIN dengan menunjuk dua orang kepercayaannya. Sutanto dipilihnya pada Oktober 2009. Sutanto adalah jenderal bintang empat di Mabes Polri yang juga dipilihnya memimpin Polri pada 2005.
 Marciano Norman, Kepala BIN pilihan Presiden SBY. (CNN Indonesia/Arie Riswandy) |
SBY lantas mengangkat Marciano Norman untuk meneruskan kinerja Sutanto pada 2011. Marciano pernah menjadi pengawal SBY kala menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden tahun 2008.
Saat ini, kedekatan Kepala BIN dan presiden belum terkonfirmasi. Namun, latar belakang Sutiyoso dan calon kepala BIN Budi Gunawan beririsan dengan
political appointee yang disebut Hendropriyono.
Sutiyoso adalah mantan Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Partai politik itu masuk dalam koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla pada Pemilu Presiden 2014.
Sementara Budi Gunawan merupakan ajudan Megawati pada periode 1999 hingga 2004. PDIP dan Jokowi juga menjagokan Budi untuk menjadi Kapolri tahun 2015. Namun upaya itu terhenti akibat kasus dugaan rekening gendut.
(abm/agk)