Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat meminta Presiden Joko Widodo untuk memperluas kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ketua Komisi IX Dede Yusuf menganjurkan Jokowi untuk segera menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur kewenangan BPOM dalam memberantas peredaran barang ilegal.
"Kewenangan Badan POM selama ini terbatas untuk barang-barang yang beredar di pasar atau publik, dulu barang ilegal domainnya kepolisian. Sekarang kami coba agar Badan POM yang masuk," ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com di Jakarta, Minggu (11/9).
Menurut Dede, kewenangan penindakan perlu ditambahkan karena BPOM mengetahui banyak peredaran barang ilegal di Indonesia. Namun, BPOM tidak bisa melakukan sidak barang ilegal karena kewenangannya hanya sebatas mengawasi produk di tempat resmi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contohnya adalah BPOM mengetahui peredaran obat ilegal. Minggu lalu, Selasa (6/9), BPOM menemukan lima gudang produksi dan distribusi obat ilegal di Kompleks Pergudangan Surya Balaraja, Jalan Raya Serang, Banten. Di gudang itu ditemukan alat-alat produksi obat ilegal seperti
mixer dan mesin cetak tablet.
Selain itu, ditemukan juga bahan baku obat, bahan kemasan, dan produk jadi obat instan siap edar dengan nilai Rp30 miliar. Obat yang ditemukan di antaranya adalah Tryhexyphanydyl, Heximer dan obat analgetik (pereda sakit) Tramadol. Selain itu, ditemukan juga Carnophen dan Somadryl untuk nyeri otot. Obat-obat ilegal itu beredar dari Sabang sampai Merauke.
[Gambas:Video CNN]Berdasarkan Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah non Departemen, saat ini BPOM hanya memiliki kewenangan, diantaranya penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman peredaran Obat dan Makanan, pemberi izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. Lalu, penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman Obat.
Keppres, menurut Dede, menjadi solusi yang dapat diambil saat ini karena peredaran barang ilegal sudah tidak terkontrol. Dalam Keppres itu, pemerintah dapat melakukan perubahan organisasi seperti mengadakan deputi penindakan. Tujuannya, untuk melakukan penyidikan, penindakan bahkan penuntutan terhadap pengedar obat ilegal.
Selain itu, Dede mengatakan, BPOM dapat melakukan
tracking system dengan adanya peraturan tersebut.
"Tapi jangan sampai bertubrukan dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian dan Pemerintah Daerah," tuturnya.
Dede berharap, permintaan perwujudan Keppres itu sudah dapat dikabulkan dalam waktu satu bulan ke depan.
RUU BPOMSelain mendorong terbitnya Keppres, Komisi IX juga berinisiatif untuk membuat Undang-Undang tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Alasannya, agar BPOM dapat memiliki kewenangan yang lebih luas, dan tidak sekadar mengeluarkan surat ijin edar dan pengawasan.
Wacana ini berkembang saat terungkapnya vaksin palsu yang bereda di belasan rumah sakit. Akibat vaksin palsu itu, fungsi BPOM pun menjadi dipertanyakan.
Dalam RUU itu, Dede menjelaskan, dapat dimasukkan sanksi hukuman bagi produsen obat ilegal minimal 5 sampai 10 tahun. Selama ini, sanksi hukuman yang tercantum tidak jelas.
"Selama ini saat dibawa ke meja sidang, hukum KUHP maupun UU kalimatnya hanya selama-lamanya atau maksimal 15 tahun, karena itu biasanya tidak pernah tercapai dan paling hanya setahun," ucapnya.
Namun, Dede mengakui, proses pembuatan RUU itu tidak sebentar. Kemungkinan, dibutuhkan waktu satu tahun untuk mewujudkannya.
(rel)