Jakarta, CNN Indonesia -- Warga Jakarta yang menjadi korban penggusuran mengajukan permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
Warga Papanggo, Jakarta Utara dan Duri Kepa, Jakarta Barat bertindak sebagai pemohon
judicial review tersebut. Didampingi LBH Jakarta, mereka mendaftarkan dokumen gugatan mereka, Selasa kemarin.
Pengacara publik LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy mengatakan undang-undang itu memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk bertindak diskriminatif kepada warga di lahan gusuran.
"Klaim sepihak tanpa perlu menunjukkan sertifikat dan proses musyawarah, penggunaan kekerasan, hingga penggunaan aparat yang tidak berwenang seperti TNI," kata Alldo seperti dilansir situs LBH Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Alldo, pasal 2, 3, 4, dan 6 pada beleid itu melanggar hak konstitusional warga. Masyarakat berpotensi kehilangan hak atas tempat tinggal, rasa aman, perlindungan harta benda, pekerjaan yang layak, dan pendidikan.
"Itu tentu sama sekali tidak manusiawi," ucapnya.
Pengacara LBH Jakarta Tigor Gempita Hutapea menuturkan, UU Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin sudah tidak relevan dengan era kekinian.
Beleid itu disebutnya diterbitkan untuk mempertahankan lahan dari pemberontakan yang kerap muncul di dekade 1950-an.
"Kami harapkan Mahkamah Konstitusi dapat bersikap arif dan mau mendengarkan aspirasi masyarakat miskin kota yang terlanggar hak konstitusionalnya," ujar Tigor.
LBH Jakarta mencatat, 325 lokasi di ibu kota terancam penggusuran sepanjang tahun 2016. Wilayah itu tersebar di utara (54 lokasi), barat (55), pusat (57), selatan (77), dan timur (82).
Merujuk data Pemprov, LBH Jakarta memperkirakan pada 2014 jumlah korban penggusuran mencapai 3.433 kepala keluarga. Lebih dari itu, dari 30 penggusuran yang mereka teliti, hanya 13 persen yang didahului proses musyawarah antara Pemprov dan warga.
(abm/asa)