Merauke, CNN Indonesia -- Muhammad Saleh Wakang tak dapat menutupi kekecewaannya saat mendengar putusan majelis hakim di Pengadilan Perikanan Merauke, Papua pada Juli 2015.
Perusahaan tempatnya bekerja, PT Sino Indonesia Shunlida Fishing, didenda Rp1 miliar lantaran kapal yang beroperasi terbukti mencuri ikan.
Kelima kapal yakni Sino 16, Sino 17, Sino 18, Sino 28, dan Sino 29 pun terancam ditenggelamkan. Hakim juga menjatuhkan hukuman dua tahun penjara bagi lima ahli tangkap ikan—
fishing master, asal China yang ditangkap pada Desember 2014 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, setahun berlalu sejak putusan di Pengadilan Perikanan Merauke. Saleh masih menunggu hasil permohonan kasasi di Mahkamah Agung (MA).
“Kami sudah ajukan permohonan kasasi sejak 2015, tapi sampai sekarang masih menunggu,” ujar Saleh saat ditemui CNNIndonesia.com, awal September lalu.
Saleh merupakan Direktur Utama PT Sino di Kabupaten Merauke. Pria itu bertugas mengelola kegiatan darat yang berlangsung di perusahaan pengolah ikan yang dimiliki China tersebut.
Dia mengakui permasalahan yang dihadapi PT Sino selama ini adalah soal penyalahgunaan izin kapal. Selain di Merauke, lima kapal eks asing milik perusahaan itu juga tersandung masalah di perairan Tual, Maluku.
Masalahnya pun sama, kapal ketahuan menangkap ikan secara ilegal. Tak ada Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).
Saleh beralasan SIPI itu tersimpan dalam kapal, hanya lupa dilaporkan. “Bukannya tanpa SIPI, hanya tidak melapor. Itu kan masalah koordinasi saja sebenarnya.”
 Kapal milik PT Sino yang izinnya dicabut dan kini tak beroperasi lagi. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Namun, permasalahan berbuntut panjang.
Lima kapal milik perusahaan yakni Sino 15, Sino 26, Sino 27, Sino 35, dan Sino 36 dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Perikanan Ambon pada Mei 2015. Dibandingkan dengan Pengadilan Perikanan Merauke, hukuman ini lebih ringan.
Perusahaan hanya dijatuhi kewajiban membayar denda Rp100 juta tiap kapal. Barang bukti berupa kapal dan sejumlah alat tangkap ikan pun dikembalikan ke perusahaan.
“Beda memang sama kasus di Ambon. Di Merauke, tidak ada ampun,” ucap Saleh.
Dari total sepuluh kapal yang bermasalah, tersisa delapan kapal yang dimiliki PT Sino. Kondisinya tampak tak terawat. Bagian badan kapal yang berkapasitas 265
gross ton (GT) itu mulai berkarat. Hampir dua tahun kapal-kapal tersebut mangkrak di tepi pelabuhan.
Dia menginginkan kejelasan dari pemerintah, agar kapal-kapal yang tak bermasalah bisa segera diproses.
“Kami minta kapal yang tidak diproses hukum bisa dikembalikan ke China. Kasihan berlabuh di sini lama-lama, itu besi tua, lama-lama rusak,” ungkapnya.
KKP menangkap kapal milik PT Sino yang dimiliki oleh China pada Desember 2014. Operasi itu dilakukan bersama dengan TNI Angkatan Laut yang menyita 1.093 ikan pelbagai jenis. PT Sino ditangkap karena Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) milik perusahaan itu sudah tak berlaku lagi.
Khusus kapal asing, kementerian itu menyatakan pihaknya melarang kapal yang pembangunannya di luar negeri—bukan di Indonesia—beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Tujuan pemerintah, memajukan usaha perikanan tangkap dalam negeri dengan modal dan kapal domestik.
 Menteri KKP Susi Pudjiastuti. Dia sempat kecewa dengan putusan Pengadilan Perikanan Ambon yang memutus rendah untuk perusahaan pencuri ikan. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) |
Soal kasus Sino, Menteri KKP Susi Pudjiastuti sempat angkat bicara.
Dia kecewa atas putusan Pengadilan Perikanan Ambon terhadap lima kapal milik Sino atas praktik pencurian ikan. Denda sebesar Rp100 juta per kapal dianggap tak sebanding dengan kerugian Indonesia terkait pencurian ikan yang mencapai miliaran rupiah.
“Bagaimana mungkin mereka tahun ke tahun mengeruk ribuan ton ikan hanya didenda Rp 100 juta,” kata Susi pada Mei 2015. “Ini menyinggung rasa keadilan dan harkat martabat saya.”
Dia menilai denda tersebut adalah hukuman yang tidak memberi efek jera. Kementerian itu pun melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Ambon—hasilnya, tambahan kurungan masing-masing dua tahun dan denda Rp1 miliar pada nakhoda dan ahli tangkap ikan pada kapal Sino 15, 26, dan 27.
Diketahui, kebijakan yang diterbitkan Menteri KKP Susi Pudjiastuti dinilai sebagai upaya untuk mendukung kedaulatan Indonesia terhadap wilayah maritim. Presiden Joko Widodo sendiri berkomitmen untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Pemerintah menyatakan poros maritim akan diwujudkan untuk menjamin konektivitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut, sekaligus keamanan sektor maritim.
Saat di Merauke, Saleh pun mengajak CNNIndonesia.com berkunjung ke kantor Sino.
Letak kantor itu hanya satu kilometer dari kantor Dinas KKP Kabupaten Merauke. Kesannya, sepi dan tak terawat. Terlebih di sisi kiri dan kanannya hanya ada kebun luas tanpa rumah penduduk. Mes dua lantai yang disediakan bagi karyawan juga kosong.
Saleh mengungkapkan, dirinya tak pernah lagi datang ke kantor Sino. Kedatangannya ini adalah kali pertama setelah hampir berbulan-bulan tak pernah lagi ke kantor.
“Jujur saja, ini Anda datang, saya baru ke kantor. Kalau tidak ya
ngapain juga saya masuk. Tidak ada kegiatan di sini,” tuturnya.
Sejak SIUP dicabut pada Juli tahun lalu, otomatis perusahaan tutup. Awalnya Saleh masih rutin membayar gaji karyawan. Saat itu, bosnya dari China masih rajin mengirimnya uang. Di awal perusahaan tutup, Saleh masih sanggup membayar.
Namun lama-kelamaan persediaan uang habis. Dia terpaksa menjual besi-besi tua untuk membayar gaji. Sisa 15 karyawan yang ada di Sino saat ini pun nasibnya tak jelas.
“Terakhir kali saya sudah tidak mampu lagi membayar,” ucap Saleh.
 Pabrik pengolahan ikan yang terbengkalai milik PT Sino. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Aset Perusahaan Terbengkalai
Peralatan pun mulai rusak. Alat pembuat balok es tak berfungsi. Serupa, ruang pendingin untuk tempat penyimpanan ikan pun kini tak layak. Saat itu, masih ada 100 ton ikan sisa tangkapan dari nelayan. Namun separuhnya terpaksa dibuang hingga tersisa 30 ton saja.
Perusahaan itu tak mampu lagi membayar biaya solar untuk menghidupkan empat ruang pendingin dengan kapasitas 500 ton ikan. Saat pintu dibuka, tercium bau ikan busuk dari ruang pendingin. Di dalamnya menumpuk puluhan karung berisi ikan kakap, bawal, gulama, dan ikan lain yang telah mengering.
Saleh membandingkannya dengan kondisi ruang pendingin di Desa Wanam, Distrik Ilwayab, Merauke. Di desa nelayan tersebut, ruang pendingin masih beroperasi. Walaupun Saleh tahu, ikan-ikan di dalamnya tak bisa dijual.
“Kami memohon dibuka lagi, tidak bisa. Ikannya kami jual untuk biaya operasional, tidak bisa juga,” ucapnya.
Kondisi ini berbeda jauh saat SIUP belum dicabut.
Saleh mengatakan kapal milik Sino bisa melakukan bongkar muat dua kali dalam sebulan. Tak hanya itu, namun juga melakukan ekspor lima hingga enam kali dalam setahun. Untuk satu kali ekspor saja, Sino bisa meraup keuntungan hingga Rp1 miliar.
Dia menceritakan pihaknya pun menerima hasil tangkapan ikan dari nelayan sejak pagi hingga malam hari. Sebagai kompensasinya, perusahaan memberikan balok es bagi nelayan.
Bahkan jika ada kapal yang membawa muatan hingga lima ton ikan, perusahaan mau memberikan balok es cuma-cuma.
“Tapi sekarang es tidak ada. Nelayan juga tidak ada lagi yang mengantar ikan ke sini,” kata Saleh.
Menurut Saleh, sejak sejumlah izin perusahaan pengolah ikan di Merauke dicabut, nelayan kesulitan mendapatkan kapal penampung. Kapal penampung ini biasanya menyediakan peti es sehingga membuat ikan dapat disimpan lebih lama.
Setelah kapal-kapal milik perusahaan tak lagi beroperasi, sebagian nelayan kini menjual tangkapannya pada kapal penampung dari Kabupaten Kaimana, Papua Barat dan milik pengusaha lokal.
“Kalau tidak ada kapal itu, mungkin laut sudah penuh ikan. Jadi memang diperlukan sekali kapal yang punya penampung besar,” kata Saleh.
Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang ditugaskan KKP untuk menyediakan kapal penampung bagi nelayan dinilainya tak berbuat banyak.
 Pabrik yang tak lagi beroperasi di Merauke. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Selain hanya memiliki dua armada pengangkut di Merauke, kapasitas kapal itu hanya 70 GT. Hasil tangkapan ikan pun harus didistribusikan lagi ke Probolinggo, Jawa Timur dengan kapal yang berukuran lebih besar.
Setahun sejak pemberian kapal penampung melalui perusahaan pelat merah tersebut, Saleh menilai belum ada perkembangan yang berarti.
Pada Desember 2015, Perindo sempat menjanjikan untuk menambah empat unit armada pengangkut di Merauke. Namun hingga kini, yang dijanjikan tak kunjung datang.
Sekali pun mampu memuat banyak, Perindo tak memiliki tempat pengolahan di Merauke.
“Jadi mereka angkut-angkut saja,” katanya.
Saleh berharap bangunan perusahaan yang beroperasi sejak 2006 itu dapat aktif kembali. Delapan kapal milik Sino yang mulai berkarat pun diharapkan bisa lebih jelas nasibnya. Saleh menyatakan dirinya tak punya keinginan muluk.
“Kalau bisa, perusahaan ini difungsikan lagi,” ucapnya, lirih.
(asa)