Munir, Suciwati, dan Komedi Putar Tanpa Akhir

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Selasa, 25 Okt 2016 08:22 WIB
Suciwati sempat menanyakan kasus Munir kepada Jokowi melalui telepon milik Teten Masduki. Jokowi menjawab, “Loh, bukannya sudah selesai?"
Suciwati, meletakan gambar suaminya Munir saat mengikuti aksi Kamisan di depan Istana Merdeka. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)
Jakarta, CNN Indonesia -- Siang itu, 7 September 2004, jarum pendek jam baru saja menunjuk ke angka dua ketika telepon berdering di salah satu sudut rumah Suciwati.

Di ujung telepon, terdengar suara gemetar Usman Hamid, rekan suami Suciwati, Munir Said Thalib, sesama pejuang hak asasi manusia.

“Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?” ucap Usman tergagap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suciwati terhenyak. Berjuta tanya menghujam benak.

Yang ia tahu, suaminya sedang dalam perjalanan ke Belanda dan akan kembali bulan Desember. Hanya itu.

“Rasanya seperti setengah nyawa saya tercabut. Limbung. Apa yang sebenarnya terjadi? Jelas ada yang janggal di sini,” ujar Suciwati dengan tatapan nanar ketika ditemui CNNIndonesia.com pekan lalu.

Siang itu pun menjadi awal perjalanan hidup Suciwati dalam komedi putar tak menyenangkan yang kemudian dilanjutkan dengan memasuk labirin tanpa akhir. Sangat melelahkan, dan membingungkan. Hingga hari ini, 12 tahun berlalu, ia masih mencari kejelasan dan keadilan atas kematian Munir.

Sejak dering telepon itu, Suciwati terus larut dalam kesedihan dan kebingungan hingga akhirnya dua bulan kemudian, tepatnya 11 November 2004, sebuah telepon kembali menyadarkannya.
Rachland dari Imparsial menelepon untuk menanyakan ihwal hasil otopsi Munir. Kabarnya, hasil itu sudah di tangan pemerintah. Pontang-panting Suciwati mencari jawaban ke berbagai instansi, mulai dari kepolisian hingga Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan. Hasilnya nihil.

“Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum tidak diberi tahu tentang otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” kata Suciwati saat menirukan tanyanya kepada para petinggi di setiap lembaga.

Hingga akhirnya, telepon Suciwati kembali berdering sekitar pukul 22.00 WIB. Kali ini, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu Widodo AS yang berbicara di ujung telepon.

Menurut Suciwati, Widodo menyampaikan kalau hasil otopsi sudah di tangan Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Markas Besar Polri kala itu, Suyitno Landung.

Pagi esok harinya, 12 November 2004, Suciwati menyambangi kantor Bareskrim Polri dan akhirnya, sebagian besar pertanyaan Suciwati terjawab sudah. Hasil otopsi menunjukkan, Munir meninggal dunia akibat racun arsenik.

Ternyata benar dugaan Suciwati. Munir dibunuh.
Munir, Suciwati, dan Komedi Putar Celaka

Konspirasi BIN

Ditemani beberapa kawan dari lembaga swadaya masyarakat, Suciwati menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru tiga pekan dilantik menggantikan Megawati Soekarnoputri. Pertemuan itu menghasilkan keputusan presiden untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) Munir.

Tak sampai satu bulan, TPF menguak fakta mencengangkan. Menurut Suciwati, fakta itu menunjukkan benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan kewenangan Badan Intelejen Negara (BIN).

Beberapa nama petinggi BIN, termasuk sang kepala Hendropriyono, pun disebut-sebut terkait dengan kasus ini. Setelah menyerahkan hasil penyelidikan ke SBY pada 24 Juni 2005, TPF dibubarkan.
Rangkaian persidangan melelahkan dijalani oleh Suciwati. Namun dalam perkembangan kasusnya, hanya satu orang yang dianggap bersalah, yakni bekas pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto. Dia divonis 14 tahun penjara. Setelah menerima beberapa kali remisi, Pollycarpus pun dinyatakan bebas bersyarat pada November 2014.

Deputi V BIN saat itu Muchdi Prawiro Pranjono pernah dijadikan tersangka dalam kasus ini. Namun, pengadilan kemudian membebaskannya dari segala dakwaan. Pemerintah pun seakan sudah menganggap kasus ini rampung.

Namun menurut Direktur Imparsial, Al Araf, pembunuhan politik terhadap Munir menggunakan skenario yang terencana dan melibatkan banyak aktor. Peran Pollycarpus dinilai hanya sebagai aktor lapangan.

Suciwati sempat mendapatkan angin segar ketika tampuk pemerintahan berpindah ke tangan Joko Widodo. Tak lama setelah dilantik, Jokowi sempat menghubungi Suciwati melalui telepon genggam milik Teten Masduki.
Munir, Suciwati, dan Komedi Putar CelakaSuciwati (kiri), Koordinator KontraS Haris Azhar (tengah) dan Direktur Imparsial Al Araf (kanan) meminta pemerintah tak boleh melindungi pelaku pembunuhan Munir.(ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Komedi Putar Jokowi

Namun menurut Koordinator KontraS, Haris Azhar, angin segar tersebut langsung berubah menjadi bara emosi ketika Suciwati menanyakan kasus Munir, Jokowi hanya menjawab, “Loh, bukannya sudah selesai?’"

Geram, Suciwati memutuskan untuk mengajukan perkara ke Komisi Informasi Pusat (KIP), menuntut agar dokumen hasil penyelidikan TPF dapat dipublikasikan.

Melalui surat putusan Nomor 025/IV/KIP-PS-A/2016 tanggal 10 Oktober 2016, KIP akhirnya menyatakan bahwa dokumen TPF Munir yang sudah diserahkan ke Presiden RI pada tahun 2005 merupakan informasi publik dan harus diumumkan kepada masyarakat.

Namun ternyata, Suciwati masih harus memasuki gerbang baru menuju labirin berbeda. Kini masalahnya, pemerintahan Jokowi mengatakan, Kementerian Sekretaris Negara tidak memegang dokumen TPF itu. Dokumen itu hilang.

Jokowi menitahkan Jaksa Agung, M Prasetyo, untuk melacak keberadaan dokumen itu. Prasetyo kemudian membuka kemungkinan untuk menemui SBY guna mencari dokumen TPF tersebut. Belakangan, SBY mulai khawatir isu ini dipolitisasi hingga ia memutuskan untuk memberikan keterangan lewat Twitter kemarin.
Suciwati mencium gelagat aneh dari pemerintah. Menurutnya, tak mungkin dokumen sepenting itu hilang begitu saja.

Seakan menjawab kebingungan Suciwati, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danu Subroto, akhirnya angkat bicara. “Kasus Munir itu susah diungkap karena apa? Karena hampir semua kasus HAM itu ada resistensi untuk diungkap. Ada kekuatan politik yang belum siap bicara kebenaran,” ucap Sidarto.

Melihat gelagat pemerintah ini, Suciwati akhirnya melontarkan ultimatum kepada Jokowi. Namun anehnya, setelah perjuangannya selama 12 tahun, suara Suciwati terdengar begitu parau ketika menyampaikan ultimatum itu.

Ultimatum itu bahkan tak disertai tenggat waktu dan konsekuensi jika pemerintah tak jua mempublikasikan dokumen TPF. Yang dapat dilihat, ultimatum itu hanya menyinggung bahwa ketidakpatuhan pemerintah terhadap putusan KIP dapat mengarah pada pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 52, 53, dan 55 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang KIP.

Dalam UU itu diatur bahwa setiap badan publik atau seorang yang tidak menyediakan informasi publik, menghilangkan dokumen informasi publik, dapat dikenakan hukuman pidana satu sampai dua tahun dan atau denda sebesar Rp5 juta-Rp10 juta.

Namun, ketika ditanya apakah akan menempuh jalur hukum, Suciwati hanya menjawab, "Makanya ini saya ultimatum dulu. Lihat dulu nanti responnya seperti apa."

Banyak pihak lantas mempertanyakan keseriusan ultimatum Suciwati. Namun menurut Haris, Suciwati memiliki alasan kuat di balik ultimatumnya yang terkesan lemah.

“Ini adalah strategi karena kami tahu, pemerintah itu bukan mau membantu, tapi mau menutupi jalan kami. Jika mereka tahu hasil yang ingin kita capai angka lima, mereka akan memperkirakan bisa jadi caranya 1+4 atau 2+3 atau 2x2+1, semua cara itu akan ditutup. Jadi lebih baik, kami tidak memberi tahu apa-apa. Lihat saja yang akan terjadi,” tutur Haris.

Haris kemudian mengisyaratkan, KontraS bersama Suciwati sudah menyiapkan gerakan besar-besaran di berbagai pelosok Indonesia jika pemerintah tak kunjung mempublikasikan dokumen TPF.
Haris mengatakan yakin bahwa gerakan itu akan benar-benar mengguncang pemerintah. “Yang jelas, kami tidak mau Suciwati terus diputar-putar, seperti menaiki komedi putar. Biasanya orang naik komedi putar itu bahagia, ini tidak menyenangkan. Tidak usah ada lagi komedi putar ini,” kata Haris. (rel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER