Jakarta, CNN Indonesia -- Penelusuran kasus pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso mengalami jalan panjang dan berliku. Tak hanya proses penetapan tersangka, pengiriman berkas dari penyidik ke kejaksaan pun memakan waktu.
Sebelum dinyatakan lengkap atau P-21, berkas telah bolak-balik dari kepolisian ke kejaksaan sebanyak empat kali dalam tenggat waktu 120 hari. Tepat dua hari sebelum masa penahahan Jessica berakhir, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menyatakan berkas lengkap dan bisa dilanjutkan ke pengadilan pada 26 Mei lalu.
Kejaksaan rupanya meminta penyidik melengkapi berkas perkara kriminal atau Mutual Legal Assistance (MLA) in Criminal Matters dari kepolisian Australia. Permohonan berkas perkara ini memang telah menjadi kesepakatan dua negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Kehakiman Australia Michael Keenan menyetujui pemberian bantuan dari Australian Federal Police (AFP) setelah Indonesia berjanji tidak memberi hukuman mati bagi Jessica. Dari catatan AFP, Jessica memiliki 14 laporan kepolisian selama tinggal di negeri kanguru tersebut.
Penyidik dari AFP John J Torres memaparkan sejumlah laporan kepolisian dalam persidangan Agustus lalu. Laporan ini di antaranya berasal dari mantan pacar Jessica, Patrick O’Connor, dan atasan Jessica saat bekerja di New South Wales (NSW) Ambulance, Kristie Louise Charter.
Pertama, Jessica melaporkan pencurian barang miliknya di Sydney, Australia, 5 Juni 2008. Pada 23 Maret 2014, Jessica mengalami kecelakaan lalu lintas. Pada 28 Januari 2015, O’Connor mengadukan percobaan bunuh diri Jessica di apartemennya.
Torres mengungkapkan, polisi menemukan pisau di kamar Jessica. Dia lantas dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan psikologi, namun tak ada keterangan lanjutan dalam peristiwa tersebut.
Laporan berikutnya pada 29 Januari 2015. O’Connor melapor polisi karena khawatir dengan kondisi Jessica yang diduga kembali mencoba bunuh diri, dilanjutkan 22 Agustus 2015, Jessica terlibat kecelakaan mobil tunggal akibat berkendara di bawah pengaruh alkohol. Dia menabrak satu bangunan hingga membuat mobil bagian depan rusak parah.
O’Connor kembali membuat laporan pada 26 Oktober 2015. Secara berturut-turut, O’Connor kembali melaporkan pada 15 November 2015 dan 16 November 2015 karena menerima pesan singkat dari Jessica yang memuat tentang ancaman bunuh diri.
Laporan selanjutnya dilakukan pada 21 November 2015 dan 24 November 2015. Jessica lagi-lagi mengirimkan ancaman bunuh diri.
Lantaran merasa ketakutan, O’Connor melapor ke polisi bahwa Jessica memiliki masalah kejiwaan. Tak berselang lama, O’Connor meminta agar polisi mengawasi Jessica terkait dugaan kejiwaan pada 25 November 2015.
Laporan berikutnya datang dari Charter yang menduga Jessica menyakiti diri karena tak masuk kerja cukup lama. Jessica sempat dirawat tiga kali di rumah sakit akibat laporan tersebut. Laporan terakhir pada 16 Desember 2015, pengadilan setempat memutuskan Jessica tak lagi mendekati O’Connor.
Ahli psikiatri forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Natalia Widiasih mengaku sempat bertemu dengan Charter di Australia. Kepada Natalia, Charter menceritakan, Jessica menyampaikan kekesalannya karena tak diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit setelah usaha percobaan bunuh diri pada Oktober 2015.
Jessica juga kesal karena diperlakukan seolah-olah pembunuh, meski pada akhirnya Majelis Hakim memvonis dia terbukti bersalah atas pembunuhan berencana Mirna.
“Jessica bilang, ‘Kalau saya mau bunuh orang saya sudah tahu pasti caranya. Saya bisa menggunakan pistol dan saya tahu dosis yang tepat’,” kata Natalia menirukan ucapan Charter dalam persidangan di Pengadian Negeri Jakarta Pusat Agustus lalu.
Namun saat Charter menanyakan maksud pernyataan tersebut, Jessica tak menjelaskan lebih lanjut. Dari keterangan Charter, sosok Jessica semula adalah orang yang ramah dan menyenangkan.
Natalia berkata, perubahan sikap ini baru dirasakan Charter ketika Jessica memiliki permasalahan dengan O’Connor. Hal ini juga ditemukan dari cataan sebelum Jessica melakukan usaha bunuh diri dengan menyayat tangannya.
“Dalam catatan itu disebutkan bahwa Jessica kehiangan support dari O’Connor dan keluarganya. Maka dia memutuskan untuk bunuh diri,” ucap Natalia.
Natalia menilai perubahan sikap ini wajar terjadi ketika Jessica berada dalam kondisi tertekan. Kondisi ini muncul ketika Jessica merasa sangat marah pada O’Connor karena merasa dikhianati.
Natalia menampik bahwa Jessica mengalami gangguan jiwa seperti yang dituduhkan O’Connor. Dari hasil pemeriksaan psikologi, Jessica adalah orang yang cerdas dan mampu berpikir secara runut pada setiap peristiwa yang terjadi.
Pada sidang pemeriksaan terdakwa, Jessica membantah telah mengancam O’Connor. Puluhan pesan singkat yang dia kirimkan ternyata untuk menagih utang pada pacarnya. Jumlahnya pun tak sedikit, yakni AUS$10 ribu atau sekitar Rp100 juta.
Upaya untuk menagih utang juga telah dilakukan Jessica melalui orang tua O’Connor. Hal itu tertuang dalam kontrak utang yang telah disepakati antara O’Connor dan Jessica.
“Dia janji akan bayar utang tiap bulan, tapi lama-lama tidak mau bayar lagi. Perjanjiannya kalau dia tidak bayar, saya hubungi ayahnya,” tutur Jessica.
Jessica juga membantah semua pernyataan Charter. Bahkan dia tak menyangka atasannya akan berkata seperti itu tentang dirinya.
Sayangnya, Charter maupun O’Connor tak bisa hadir dalam persidangan. Charter hanya memberikan keterangan secara tertulis yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, sempat memprotes keterangan dari catatan kepolisian Australia. Kasus-kasus yang melibatkan Jessica di Australia dianggap tak berkaitan dengan dugaan pembunuhan di Indonesia.
Otto mengklaim, kliennya memiliki surat dari NSW Police Corps yang menyatakan bahwa tidak memiliki criminal infringement notice atau catatan pelanggaran kriminal. Otto mengaku mendapatkan surat tesebut setelah membuat permohonan pada kepolisian Australia.
Saat ditanya soal surat tersebut, Torres menyebutkan surat itu dibuat polisi NSW dan pemerintah setempat untuk menyatakan orang yang bersangkutan bebas dari kejahatan. Surat ini biasanya digunakan untuk kasus-kasus kecil.
Namun Torres mengatakan, isi surat itu tak lengkap. Tak ada keterangan jelas maupun nama polisi dalam surat. Terlebih dirinya telah ditugasi untuk bersaksi di persidangan terkait dugaan pembunuhan yang dilakukan Jessica.
Majelis hakim lantas meminta Torres untuk mengecek keabsahan surat apabila sudah kembali ke Australia. Torres mengiyakan.
Hasil pengecekan surat sedianya dilaporkan ke JPU. Namun merujuk berkas tuntutan yang dibacakan JPU pada 5 Oktober lalu, belum ada keterangan baru terkait surat tersebut.
Jaksa Ardito Muwardi menampik pernyataan Otto. Menurutnya, catatan kepolisian dari Australia memiliki kaitan dengan peristiwa pembunuhan Mirna.
Selain itu, respons emosi Jessica yang cukup agresif ketika dalam kondisi tertekan, juga dinilai menjadi pemicu menghilangkan nyawa Mirna.
“Ada kondisi psikologis dari Jessica yang berkaitan dengan peristiwa di Indonesia. Ini mendukung data yang digunakan ahli forensik,” tuturnya.
(rdk)