Jakarta, CNN Indonesia -- Usulan pemerintah mengenai penerapan sistem proporsional terbuka terbatas pada Pemilu serentak 2019 dalam draf RUU Penyelenggaraan Pemilu mendapat kritik dari Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sistem tersebut dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, definisi sistem pemilu terbuka terbatas adalah pemilih tidak boleh memilih calon secara langsung, meski ada nama calon tersebut di surat suara.
"Pemilih hanya boleh memilih nomor partai atau gambar partai, dan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut yang diajukan partai," ujar Titi saat dihubungi, Selasa (25/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kata lain, Titi menuturkan, proporsional terbuka terbatas yang berada dalam draf RUU Penyelenggaraan Pemilu, tidak lain merupakan sistem proporsional tertutup.
"Jadi sistem tersebut sekadar mengiming-imingi pemilih dengan nama calon yang diletakkan di surat suara, namun pemilih sama sekali tidak punya pilihan untuk memilih si calon," ujarnya.
Sistem ini, menurutnya sangat tidak efisien lantaran berpotensi menimbulkan kekisruhan baru berupa meningkatnya suara tidak sah akibat salah coblos. Sebab, kata Titi, pemilih sudah terbiasa selama tiga kali pemilu dari 2004-2014 boleh memilih calon secara langsung.
Titi menambahkan, dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini jika pemilih memilih calon maka suara menjadi tidak sah. Ia berpendapat, sistem ini baru dapat dilaksanakan jika proses demokrasi internal dan kaderisasi partai sudah berjalan baik.
Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy menilai usulan pemerintah tersebut merupakan kemunduran bagi demokrasi. Sebab, sistem ini menurutnya merupakan proporsional tertutup yang hanya diubah namanya.
"Pemerintah tidak
clear, membelok-belokkan istilah. Saya kira sistem ini akan ditolak oleh partai-partai yang konsisten dengan keterbukaan dan tidak mau mundur lagi cara kita berdemokrasi," kata Lukman.
Beleid pasal 138 ayat 2 draf RUU Penyelenggaraan Pemilu menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas.
Sementara, ayat 3 menyebutkan, sistem proporsional terbuka terbatas yang dimaksud, merupakan sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik.
Lebih lanjut pada bagian penjelasan ayat 3 disebutkan, yang dimaksud dengan 'daftar calon terbuka' adalah daftar calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota dicantumkan dalam surat suara Pemilu secara berurutan yang ditetapkan oleh partai politik.
Sedangkan, yang dimaksud dengan 'daftar nomor urut calon yang terikat' adalah daftar nomor urut calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota yang ditetapkan oleh partai politik secara berurutan yang bersifat tetap.
Hal ini dikuatkan pada pasal 401. Beleid itu mengatur penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan nomor urut calon sesuai urutan yang tercantum pada surat suara.
Kucing dalam karungKetua MPR Zulkifli Hasan turut berkomentar mengenai rencana pemerintah yang ingin menerapkan sistem proporsional terbuka terbatas dalam pelaksanaan Pemilu 2019.
Menurut, Zulkifli sistem pemilu tidak boleh mereduksi hak rakyat untuk memilih. Dengan demikian, jika nantinya Pemilu 2019 kembali pada sistem proporsional tertutup, maka akan menjadi kemunduran demokrasi.
Sistem tertutup yang hanya menyediakan pilihan nomor urut bagi pemilih, menurut Zulkifli, sama saja seperti membeli kucing dalam karung.
"Nah jadi jangan beli kucing dalam karung. Biarlah rakyat yang menentukan pilihan, yang terbaik untuk rakyat, itu yang terbaik untuk kita," ujar Zulkifli.
(wis/obs)