Jakarta, CNN Indonesia -- Serangan terhadap tiga orang anggota Kepolisian di Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu, diduga dilakukan oleh anggota Jamaah Ansharu Daulah.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, Rabu (26/10), mengatakan pelaku bernama Sultan Aziansyah itu dalam kondisi terpengaruh sangat serius oleh paham radikal Aman Abdurahman.
Aman adalah seorang narapidana Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan yang disebut sebagai pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah alias ISIS di Asia Tenggara. Jamaah Ansharu Daulah adalah pendukung kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sultan diyakini telah berbait pada kelompok teror di Ciamis, Jawa Barat, melalui mendiang Fauzan Al Anshari, pemimpin pesantren Al Anshari di daerah tersebut, 2015 lalu. Boy mengatakan Sultan pernah mendapatkan pendidikan gratis di pesantren tersebut.
Dia juga terdeteksi pernah berhubungan dengan Aman dan mengunjunginya di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dari sanalah paham radikal memengaruhinya sehingga berinisiatif melakukan aksi teror.
Ciri-ciri pengaruh paham radikal adalah pengakuan Sultan, sebelum akhirnya meninggal dunia, yang menyebut aparat kepolisian sebagai 'thoghut' dan harus dilawan.
"Jadi dia sudah sampai pada kondisi seperti itu, walaupun saat ini belum ada petunjuk atau saksi yang menyatakan ada instruksi terhadap yang bersangkutan (Sultan)," kata Boy menjawab pertanyaan
CNNIndonesia.com.Dia juga mengatakan serangan atas inisiatif sendiri seperti yang dilakukan Sultan adalah pola baru yang digunakan ISIS dalam melakukan serangan. Bahkan, jika berhasil, orang-orang seperti pelaku bisa jadi diakui sebagai pemimpin baru kelompok teroris.
"Sel-nya terus beranak, mencari teman baru lagi. (Serangan) bisa dalam kondisi pengawasan atau pengaruh dari yang lebih atas ataupun inisiatif sendiri karena dia percaya yang dia lakukan adalah kebenaran," kata Boy.
Walau mengakui ada pola baru seperti ini, Boy tidak mengungkapkan adanya langkah antisipasi baru dari pihak Kepolisian.
"Aduh, kita sudah sering bicara antisipasi: deradikalisasi, berharap dengan seluruh elemen alim ulama, kita jaga bersama jangan sampai ada bias dalam implementasi nilai agama. Jadi banyak sekali (antisipasi), tidak pernah selesai, tidak akan selesai. Artinya masyarakat harus sadar atas kondisi ini. Jangan sampai terpengaruh orang yang melakukan ajakkan seperti itu," kata Boy dengan nada tinggi.
Sementara itu, Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Andy Rahmianto mengatakan pengaruh ISIS bisa lebih mudah berkembang karena menggunakan media
internet.
Di dunia internasional, kata dia, sebelumnya tidak pernah terbayangkan ada pengaruh paham radikal yang masuk ke negara-negara minoritas muslim. Namun, hal tersebut berubah semenjak ISIS berkembang.
Dia menyinggung warga Inggris yang belakangan diketahui berada di Turki untuk bergabung dengan kelompok teror dan kasus yang terjadi di Islandia, belum lama ini.
Selain itu, dia juga menyebut kasus penembakan di Orlando, Amerika Serikat, sebagai contoh betapa pesatnya perkembangan paham radikal berkat ISIS.
"ISIS sudah melakukan penerapan metode rekrutmen yang sangat berbeda dengan jaringan Al-Qaeda," ujarnya.
Sejak 1990 hingga 2013, kata Andy, jumlah personel yang direkrut Al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden tidak melebihi angka 10.000 orang. Saat itu, mereka hanya menggunakan metode tatap muka untuk merekrut anggota.
Sementara Abu Bakar al Baghdadi yang memimpin ISIS sejak 2013 hingga 2016 telah berhasil merekrut sekitar 30.000 orang dengan menggabungkan metode dunia maya.
Dia juga mengungkapkan sudah ada 69 orang warga Indonesia yang tewas bersama ISIS di daerah konflik. Karena itu, masalah ini dinilai lebih serius ketimbang fenomena terorisme yang ada sebelumnya.
"ISIS ini lebih serius. Rekrutmen mereka langsung masuk ke kamar anak kita (melalui internet). Ini tidak dilakukan oleh Osama bin Laden," kata dia.
(rel/obs)