Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebut ada 53 warga negara Indonesia pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang sudah pulang. Pemerintah terus mengawasi dan akan menyadarkan mereka agar paham radikal tidak mereka sebar.
"Kami akan hapus paham terorisme dari ISIS," kata Wiranto di kantornya kemarin.
Menurutnya, pemerintah akan melakukan pendekatan secara manusiawi dalam pencegahan radikalisme. Namun tetap ada ada perlakuan khusus bagi mereka yang dianggap memiliki pendirian keras atas ideologinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Suhardi Alius menyebut setidaknya ada 500 WNI yang berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Sekitar 70 orang di antaranya tewas di sana. Sementara 53 orang lainnya telah kembali ke Indonesia. Keberadaan mereka patut diwaspadai karena bisa menjadi masalah.
Suhardi mengatakan, ISIS saat ini sedang terdesak di Irak maupun Suriah. Para pendukung kelompok radikal ini diminta bertindak di negara masing-masing ketika mereka tidak bisa memberikan bantuan secara langsung.
"Ketika ISIS terdesak di Mosul (Irak) dan sebagainya, ada perintah untuk melakukan tindakan di negaranya masing-masing kalau memang tidak bisa berangkat (ke Irak)," kata Suhardi di Kantor Staf Kepresidenan.
Selain mengawasi mereka yang sudah pulang, BNPT juga mencegah mereka yang akan pergi ke negara konflik itu di pintu-pintu keberangkatan. Menurut Suhardi, sejumlah WNI sudah lebih dulu ditangkap atau diproses hukum sebelum berangkat ke Suriah.
Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop yang ditemui usai berdialog dengan Wiranto mengamini pernyataan Suhardi. Julie mengatakan, Irak saat ini berupaya merebut beberapa wilayah yang dikuasi ISIS.
Posisi ISIS yang tedesak membuat sejumlah militan memilih pulang kampung ke negaranya termasuk Indonesia dan Australia.
Dalam catatan Julie, ada 110 warga negara Australia berangkat untuk ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Australia mewaspadai kepulangan mereka.
Pendukung ISIS ini menurut Julie punya jaringan, pengalaman, dan kemampuan untuk menyebarkan paham radikal sekaligus melakukan aksi teror.
"Dari pengalaman kami dengan para pejuang yang kembali dari Afghanistan, ketika warga Australia kembali, mereka menjadi teroris garis keras. Saat kembali, jaringan dan hubungan itu turut dibawa kembali ke Australia," kata Julie.
Dia mengatakan, butuh upaya dari dunia internasional untuk memonitor pergerakan mereka. Julie menilai pentingnya kerja sama Indonesia dan Australia untuk saling bertukar informasi, sehingga keberadaan dan aktivitas para militan itu bisa diketahui.
Sel RadikalismeMereka yang tergabung dalam kelompok radikal selama ini menyebarkan paham mereka ke semua lini kehidupan masyarakat. Mereka menyerang anak muda di tengah nasionalisme yang kian menurun.
"Jaringan atau pengaruh sel-sel radikal itu masuk ke semua lini, mulai dari pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi, tidak ada satu pun yang luput dari mereka," kata Suhardi.
Proses penyebaran ajaran radikalisme itu tidak serta merta terjadi tanpa tahapan. Kelompok radikal mempengaruhi anak muda yang mulai memisahkan diri dari kelompok sosialnya. Doktrin radikalisme masuk melalui kelompok kecil yang sifatnya eksklusif dan tertutup.
Kelompok kecil itu, kata Suhardi, banyak dibangun di perguruan tinggi. Berdasarkan keterangan para ahli, tambahnya, tidak ada satu pun perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terbebas dari sel radikalisme.
Suhardi membagi empat sel radikalisme di masyarakat, yaitu kelompok inti, militan, pendukung, dan simpatisan.
Mayoritas para pelaku di lapangan berada pada masa pencarian jati diri, berusia antara 15 hingga 30 tahun. Mereka mudah dipengaruhi kelompok radikal melalui penggunaan media sosial.
"Peranan sosial media ini sangat penting sekali, perlu dibangun kepedulian orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya dalam menggunakan sosial media," ujarnya.
Dia menyoroti penggunaan media sosial sebagai alat menyebarluaskan gagasan radikalisme. Menurutnya, pengaruh radikalisme sebagai akar terorisme perlu dicegah sejak dini, terlebih dengan perkembangan situasi global saat ini.
"Ada penjelasan baru bahwa nantinya ada negara tetangga yang menjadi pusat dari ISIS dan patut kita waspadai," ujarnya.
(sur/agk)