WAWANCARA KHUSUS

Filep Karma: Penguasa Papua Bukan Jokowi

Anggi Kusumadewi | CNN Indonesia
Jumat, 28 Okt 2016 13:03 WIB
Filep yang baru setahun bebas dari penjara, terus berjuang. Dengan janggut kepang diikat karet Bintang Kejora, ia berkata belajar banyak dari sejarah Indonesia.
Filep yang baru setahun bebas dari penjara, terus berjuang untuk Papua. Ia mengatakan, banyak belajar dari sejarah Indonesia. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir setahun sudah Filep Karma menghirup udara bebas. Lelaki berambut dan berjanggut tebal itu pertama kali keluar dari Penjara Abepura, Jayapura, Papua, pada 19 November 2015, setelah menerima remisi dasawarsa dari pemerintahan Jokowi –yang sebetulnya ia tolak.

Bagi Filep yang menghabiskan 11 tahun hidup di balik jeruji besi, menerima remisi berarti mengaku berbuat salah. Padahal Filep tak merasa bersalah. Ia tahanan politik yang dipenjara bukan karena kasus kriminal, tapi sebab persoalan ideologi.

Filep menggelar upacara peringatan kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2004 di sebuah lapangan di Abepura, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan berpidato soal bangsa Papua. Ia pun ditangkap, dituduh berkhianat pada Indonesia, dan dijebloskan ke penjara. Upaya bandingnya selalu kandas hingga tingkat Mahkamah Agung di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, meski Filep kembali menjadi orang bebas berkat “paksaan” remisi pemerintah Jokowi, ia tak lantas tunduk pada si pemberi remisi. Filep, dengan janggut kepang diikat karet Bintang Kejora, terus berjuang untuk Papua dengan caranya. Ia berkeliling, bercerita tentang Papua, agar masyarakat Indonesia paham apa yang terjadi di tanah kelahirannya.

Di sela kesibukannya memperjuangkan Papua merdeka lewat cara damai, Filep menyempatkan diri berbincang santai dengan wartawan CNNIndonesia.com, Anggi Kusumadewi, Selasa (25/10). Berikut petikan wawancara khususnya.

Dua bulan sebelum Anda dibebaskan dari tahanan, kepada rekan kami Giras Pasopati di Penjara Abepura, Anda mengatakan, “Jokowi baik, tulus, tapi susah meyakinkan Papua karena tantangan dia sebagai Presiden begitu banyak. Apa yang dia inginkan berbeda dengan kenyataan.”
Kini setelah dua tahun Jokowi memimpin Indonesia, dengan tekad yang dia ucapkan di awal pemerintahan untuk mewujudkan damai di Papua, bagaimana kondisi Papua saat ini dibanding dengan saat Jokowi belum memimpin?

Saya kira tidak ada perbedaan. Pembunuhan oleh orang tak dikenal makin marak. Ada aktivis KNPB digantung di pohon, kata polisi bunuh diri. Ada aktivis Pasar Mama-mama dibunuh, katanya tabrak lari, hasil pemeriksaan polisi karena kecelakaan lalu lintas. Sudah enam ribu orang ditangkapi, meski sebagian langsung dilepas.

KNPB, Komite Nasional Papua Barat, adalah organisasi politik masyarakat Papua yang mengampanyekan kemerdekaan Papua.

Sementara pegiat Pasar Mama-mama yang ditabrak ialah Robert Jitmau, Sekretaris Solidaritas Pedagang Asli Papua. Pria 42 tahun itu aktif memperjuangkan pembangunan pasar untuk menampung 500 pedagang asli Papua di Jayapura.

Rojit kerap memimpin aksi unjuk rasa menuntut pendirian Pasar Mama-mama. Ia juga salah seorang yang menemui perwakilan pemerintah pusat dan DPR RI guna membahas proses pelepasan lahan yang hendak dipakai untuk membangun pasar.

Perjuangan Rojit dan rekan-rekannya berbuah. Akhir April 2016, Presiden Jokowi meletakkan batu pertama pembangunan Pasar Mama-mama di Jayapura

Menurut keterangan Polres Jayapura, Rojit tewas ditabrak di Jayapura pukul 05.00 WIT, 21 Mei 2016. Ketika itu ia sedang mengobrol dengan dua kawannya di pinggir jalan. Mereka dihantam sedan. Rojit meninggal, sedangkan dua temannya selamat.

Jadi, damai yang Pak Jokowi janjikan itu tak terlihat, dan kebebasan berekspresi makin ditekan. Aparat makin represif. Kami baru kumpul saja langsung dicegat di tempat.

Saya melihat, selama ini yang memegang peran di Papua itu TNI Polri. Sipil tidak punya peranan.

Misalnya saat Pak Jokowi ke Papua 9 Mei 2016. Pada 10 Mei di Merauke, Jokowi mengumumkan Papua terbuka bagi wartawan nasional dan asing, juga LSM nasional dan asing. Tapi kemudian, hal itu dibantah oleh Panglima TNI.

Tidak bisa Papua dibuka, katanya. Berarti yang berkuasa di Papua bukan Jokowi sebagai seorang Presiden, karena dia sipil. Yang berkuasa di Papua itu TNI Polri. Padahal jika saya merujuk ke UUD 1945, Presiden panglima tertinggi TNI.

Pada 29 Mei 2016, 19 hari usai Jokowi menyatakan Papua terbuka bagi jurnalis asing, Jenderal Moeldoko yang saat itu menjabat Panglima TNI, dalam arahannya di hadapan ribuan prajurit Komando Daerah Militer V/Brawijaya di Surabaya, Jawa Timur, mengatakan wartawan asing tak boleh seenaknya masuk ke Papua jika bertujuan hendak membuat berita yang tak sesuai fakta, bersifat memfitnah, dan hanya menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia.

Namun, Moeldoko saat itu juga menyatakan, akan menjalankan perintah Presiden untuk mengakomodasi wartawan asing ke Papua, selama wartawan tersebut punya niat baik. Menurutnya, aparat intelijen di Papua akan memantau wartawan-wartawan asing itu demi keamanan jiwa mereka selama peliputan.

Sejak menjabat sebagai Presiden, Jokowi telah mengguyur Papua dengan berbagai program pembangunan. Jokowi juga berkali-kali mendatangi Papua. Papua menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang paling sering dikunjungi Presiden. Itu paling tidak menunjukkan upaya serius pemerintah pusat atas Papua. Apa Anda berpendapat serupa?

Jokowi datang sesering apapun, apakah karena diminta rakyat Papua? Kami diberi pembangunan infrastruktur, itu siapa yang minta dan untuk kepentingan siapa?

Itu ibarat kami ingin kopi, dikasih soda.

Infrastruktur dibangun, di sisi lain mempercepat illegal logging yang dibantu oleh TNI Polri. Menurut informasi polisi hutan yang saya terima, yang membawa potongan kayu ilegal itu dikawal TNI Polri. Ya siapa yang berani periksa? Siapa mau melawan tentara bersenjata mangkas hutan?

Pada Desember 2012, Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan RI-Papua Nugini TNI menahan 14 truk yang mengangkut kayu tanpa dokumen dari Keerom ke Jayapura. Sopir truk lantas menyebut ada anggota TNI yang diduga membekingi pembalakan liar itu.

Anggota-anggota TNI yang terlibat, menurut Kodam XVII/Cenderawasih saat itu, akan dihukum berat.

Apakah Anda merasakan perbedaan antara program-program pemerintah Jokowi untuk Papua saat ini, dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia sebelum era Jokowi?

Saya merasa, justru Gus Dur yang tanpa menjanjikan apa-apa, tapi kami di Papua merasakan kedamaian. Itu waktu masa Gus Dur.

Beliau mengizinkan bendera Bintang Kejora dikibarkan bersama-sama dengan bendera Merah Putih, tapi tidak boleh lebih tinggi dan dengan ukuran lebih kecil.

Beliau juga mengembalikan nama Papua (sebelumnya Irian Jaya pada era Soeharto). Padahal dulu kalau kami omong “Saya orang Papua,” disebut separatis. Diberi stigma macam-macam. Padahal cuma menyebut nama “Papua.”

Jadi untuk nama “Papua” ini, sudah banyak orang dibunuh. Itu baru nama saja, belum teriak “merdeka,” tapi sudah banyak korban.

Jadi kami melihat Gus Dur punya hati nurani yang baik. Dia mendengar suara orang Papua. Dia mengerti apa yang harus diberikan untuk orang Papua.

Pada 1 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur mengembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua dan mengizinkan bendera Bintang Kejora dikibarkan sebagai simbol kultural orang Papua, sekaligus menerapkan otonomi khusus untuk Papua.

Namun kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, bendera Bintang Kejora kembali dilarang.

Kalau sekarang, kami mau minum kopi, dikasih soda, dengan alasan soda juga ada kandungan kafeinnya. Yang kami minta tidak diberikan.

Jadi meski dibaik-baikin, ini bukan yang kami minta. Kami dipaksa menerima otonomi khusus. Otsus itu ibarat untuk membungkam teriakan merdeka.

Filep Karma: Penguasa Papua Bukan JokowiPresiden Jokowi dalam salah satu kunjungannya ke Papua. (Setpres/Rusman)
Menurut Anda, apa yang diinginkan mayoritas rakyat Papua?

Merdeka. Kami punya negara sendiri. Indonesia itu bangsa lain. Keinginan ini sudah merata, bukan karena ketidakadilan pembangunan di Papua lantas kami baru berpikir begitu. Sebab dari awal sudah seperti itu.

Papua berangkat dari sejarah yang berbeda dari Indonesia. Start sudah beda. Bendera (Bintang Kejora) sudah dibagikan 1 Desember 1961. Tiba-tiba Sukarno mengumumkan Trikora pada 19 Desember 1961. Dia mengatakan, bubarkan Negara Papua. Cuma, diselipin kata “boneka.”

Papua menjadi rebutan Indonesia dan Belanda seiring langkah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Indonesia mengklaim seluruh daerah jajahan Hindia Belanda, termasuk bagian barat Pulau Papua, sebagai wilayahnya. Klaim itu ditolak Belanda, dan negara di benua Eropa itu mempersiapkan kemerdekaan Papua.

Desember 1950, Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan Papua berhak merdeka sesuai Pasal 76c Piagam PBB yang berbunyi, “Mendorong penghormatan kepada hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, dan menganjurkan pengakuan atas kemerdekaan rakyat-rakyat di dunia.”

Namun Indonesia dan Belanda terus berseteru berebut Papua. Indonesia menggelar serangan, dan Belanda menggenjot pendidikan di Papua. Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat pada 1956, dan Belanda membentuk Tentara Papua pada 1957.

Belanda melaporkan upayanya membangun Papua secara rutin ke PBB sejak 1950 sampai 1961. Belanda juga melangsungkan pemilu di Papua yang menghasilkan Dewan Papua. Dewan ini pada Oktober 1961 mempersiapkan Papua merdeka.

Pada 31 Oktober 1961, bendera Bintang Kejora berkibar untuk kali pertama, dan 1 Desember 1961 kemerdekaan Papua dideklarasikan.

Selanjutnya tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno di Yogyakarta mengumumkan operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian dan mengusir Belanda dari sana.

Dua dari tiga butir isi Trikora itu ialah: gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda, dan kibarkan sang saka Merah Putih di seluruh Irian Barat.

Indonesia dan Belanda lalu menggelar perundingan di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, pada 15 Agustus 1962, yang menghasilkan penyerahan Papua kepada PBB (United Nations Temporary Executive Authority, UNTEA), untuk kemudian diserahkan kepada Indonesia.

Pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Papua kepada Indonesia, dan Indonesia membubarkan Dewan Papua serta melarang bendera Bintang Kejora. Keputusan ini ditentang banyak pihak di Papua dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka pada 1965.

Papua akhirnya resmi menjadi wilayah Republik Indonesia setelah digelar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Namun metode Pepera lewat perwakilan –satu suara merepresentasikan banyak orang– ditentang rakyat Papua yang menginginkan sistem one man one vote.

Apa harapan Anda untuk Papua, saat ini dan di masa depan?

Sekarang kami terus konsolidasi dan berjuang untuk merdeka. Ke depan, kalau kami sudah merdeka, jangan mengulangi yang Indonesia lakukan. Harus lebih manusiawi.

Kemerdekaan suatu bangsa juga ditentukan oleh faktor internasional, yakni dukungan negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Minimal diperlukan pengakuan dari dua per tiga anggota PBB yang hadir pada Sidang Majelis Umum PBB.

Maka dengan anggota PBB yang kini berjumlah 193 negara, bila seluruhnya hadir pada Sidang Majelis Umum PBB, diperlukan setidaknya suara dukungan dari 128 negara.

Saat ini ada tujuh negara Pasifik yang mengangkat isu Papua ke Sidang PBB. Mereka adalah Kepulauan Solomon, Republik Vanuatu, Republik Kepulauan Marshall, Republik Nauru, Tuvalu, Kerajaan Tonga, dan Republik Palau.

Apa tiga kata pilihan Anda untuk mendeskripsikan Papua dan rakyatnya?

Papua merdeka.

Filep Karma: Penguasa Papua Bukan JokowiSeorang murid Sekolah Dasar di Merauke, Papua. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Apa keinginan tertinggi Anda yang belum terpenuhi sampai sekarang?

Melihat rakyat Papua sejahtera.

Saya menyadari Papua sangat kaya. Kekayaan itu dipakai untuk membangun Jakarta, sementara rakyat kami terus menderita.

Untuk mengambil emas kami sendiri, kami dibunuhi dan disiksa.

Saya akan bahagia kalau melihat rakyat Papua sejahtera dan bebas dari penindasan, pembunuhan, tindakan semena-mena.

Itu impian saya.

Kalau memikirkan diri saya sendiri, tinggal kerja saja.

Saya pegawai juga, tapi tetap berjuang. Ini kan negara demokrasi, orang bebas bicara apa saja. Yang penting saya tidak menghambat orang lain. Paling honor dan tunjangan saya dipotong karena tidak masuk kantor. Itu konsekuensi.

Mungkin bagi orang lain, ini terlalu idealis. Suka-suka orang menilai. Indonesia juga belum pasti merdeka kalau dulu tak ada idealisme. Kami banyak dapat contoh dari sejarah Indonesia.

Simak juga: Lelaki Ini Bernama Filep Karma

(agk/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER