Samarinda, CNN Indonesia -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, mengutuk keras aksi teror bom di Gereja HKBP Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur yang menyebabkan seorang balita meninggal dunia dan tiga lainnya terluka.
"Saya mengutuk keras ledakan bom di Gereja Oikumene apalagi korbannya anak-anak yang tidak berdosa yang tidak tahu apa-apa. Ini perbuatan keji dan saya meminta pelakunya harus dihukum seberat-beratnya," kata Muhadjir Effendy, usai menjenguk dua korban ledakan Gereja Oikumene, di RSUD AW Syahranie Samarinda, Senin (14/11) seperti dilansir dari
Antara.
Muhadjir juga menyampaikan duka mendalam dari Presiden Joko widodo kepada keluarga korban yang ditinggalkan dan meminta tiga balita yang masih dirawat agar diberi penanganan lengkap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya juga menyampaikan salam dari Presiden dan kepada keluarga agar diberi ketabahan. Saya sudah meminta pimpinan rumah sakit agar para korban diberi pertolongan lengkap dan semua biaya ditanggung pemerintah," ujarnya.
Muhadjir mengatakan, peristiwa teror seperti itu tidak boleh terulang lagi karena merupakan ancaman nyata bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, Muhadjir meminta pihak kepolisian, TNI, Pemerintah Provinsi Kaltim serta semua elemen masyarakat meningkatkan kewaspadaan pascabom ini.
"Yang menjadi korban adalah anak-anak yang tidak berdosa akibat tindakan keji yang dilakukan atas nama keyakinan yang sesat yang ia pahami. Saya tegaskan, kejadian seperti ini tidak boleh terjadi lagi," tegas Muhadjir Effendy.
Direktur RSUD AW Sjahranie Samarinda, Rahim Dinata Majidi menyatakan telah menyiapkan tim khusus penanganan korban bom Gereja Oikumene yang terdiri dari ahli bedah plastik, bedah umum, anestesi, ahli anak dan juga dari keperawatan intensif.
Trauma Anak PascabomKetua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia Reza Indragiri Amriel mengatakan, trauma yang dialami anak-anak korban bencana akibat ulah tangan manusia seperti bom di Samarinda memiliki dampak lebih buruk daripada trauma akibat bencana alam.
"Karena itu, perlu penanganan yang komprehensif terhadap korban, khususnya anak-anak. Trauma, apa pun sumbernya niscaya menyakitkan," kata Reza.
Sebagaimana anak yang mengandalkan orang tua sebagai pelindung, Reza menilai keluarga korban ledakan bom di Samarinda juga mengharapkan kehadiran otoritas terkait sebagai pemberi jaminan keamanan.
Semakin cepat dan efektif penanganan oleh otoritas berwenang dan langkah-langkah penanganan disaksikan keluarga korban, semakin solid pondasi bagi pemulihan kondisi anak-anak yang menderita trauma.
"Setelah kelompok-kelompok teror belakangan terindikasi melakukan perekrutan terhadap anak-anak, jangan sampai mereka kini menjadikan anak-anak sebagai sasaran," tuturnya.
Menurut Reza, siapa pun pelaku dan latar belakang agamanya, aksi peledakan bom terhadap gereja di Samarinda sama sekali tidak merefleksikan nilai-nilai religi.
"Dalam Islam misalnya, tidak dibenarkan melakukan perusakan terhadap rumah ibadah dan kekerasan terhada anak-anak, bahkan dalam situasi perang sekalipun," katanya.
Ledakan bom terjadi di Gereja Oikumene di Jalan Cipto Mangunkusumo RT 03, Nomor 37, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, pada Minggu pagi sekitar pukul 10.15 WITA, menyebabkan lima orang terluka. Empat diantaranya adalah balita yang menderita luka bakar serius yakni, IOM (2,5), AATS (4), TH (3) serta AKS (2).
Dua balita yang menderita luka bakar cukup parah yakni IOM dan TH pada Minggu sore (13/11) sekitar pukul 16.15 WITA langsung dirujuk ke RSUD AW Syahranie. Namun, nyawa IOM tidak tertolong.
Polisi telah menangkap satu terduga pelaku, yaitu Joh Alias Jo Bin Muhammad Aceng Kurnia, 32 tahun. Ia merupakan mantan narapidana teror bom Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Tangerang beberapa waktu lalu.
Ia pernah menjalani hukuman pidana 3,5 tahun pada 2012, dan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 Juli 2014.
Jo alias Juanda merupakan anggota kelompok pelaku teror bom buku Puspitek yang dipimpin Pepi Fernando. Pepi Fernando divonis hukuman penjara 18 tahun pada awal Maret 2012.
(rel/yul)