Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo mengatakan, teror bom molotov di Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur sudah di luar batas kemanusiaan. Ledakan bom itu menewaskan seorang balita bernama Intan Olivia Marbun.
Intan meregang nyawa karena menderita 78 persen luka bakar dan pembengkakan paru-paru akibat menghirup asap saat terjadi ledakan.
"Tidak ada kata yang dapat menggambarkan betapa dalam rasa duka cita saya atas meninggalnya Intan. Itu sudah di luar batas kemanusiaan karena ini anak-anak kita," kata Jokowi melalui keterangan resmi, Selasa (15/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain Olivia, ledakan itu juga menyebabkan tiga orang terluka. Mereka ialah TH (3 tahun) yang masih menjalani perawatan intensif karena menderita luka bakar 50 persen dan pembengkakan paru-paru, ATS (4 tahun), dan AKS (2 tahun).
Polisi telah menangkap satu terduga pelaku, yaitu Jo Bin Muhammad Aceng Kurnia, 32 tahun. Ia merupakan residivis teror bom Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Tangerang beberapa tahun lalu.
Dalam kunjungan ke Sekolah Calon Perwira (Secapa AD), Jokowi menegaskan aksi kekerasan dan terorisme menjadi tantangan besar global. Radikalisme juga menambah daftar tantangan besar yang dihadapi Indonesia.
"Tantangan itu kami sampaikan gamblang dan jelas agar TNI bisa mengambil peran sebanyak-banyaknya," tutur Panglima tertinggi TNI ini.
Ia mengatakan, dirinya sedang menyiapkan sebuah rancangan yang diyakini mendinginkan suasana Indonesia kini. Namun, ia tidak merincikan rancangan yang dimaksud.
"Dalam sehari dua hari ini, kami akan menyiapkan sebuah narasi besar agar masyarakat betul-betul merasakan ketenangan, bukan kekhawatiran," kata Jokowi.
Pulihkan Keluarga KorbanMenteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mengatakan, pemerintah sedang berupaya memulihkan mental keluarga Intan Olivia Marbun.
"Pascakejadian memilukan tersebut kementerian langsung mengadakan koordinasi bersama Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Kalimantan Timur untuk memberikan penguatan mental kepada keluarga korban," kata Yohana dilansir dari
Antara.
Yohana juga mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat, seperti keluarga, pihak sekolah, dan pemerintah untuk harus lebih sigap dan tegas dalam melindungi anak-anak.
"Mereka adalah anak Indonesia, masa depan mereka juga tergantung kepada kita semua, oleh sebab itu harus selalu dijaga dan dilindungi," jelasnya.
Deradikalisasi Belum EfektifKetua Setara Institute Hendardi mengatakan, ledakan bom di Samarinda yang dilakukan oleh seorang residivis menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan dan deradikalisasi terhadap aktor-aktor terorisme belum berjalan efektif.
"Aparat kepolisian dan Kemkumham harus meningkatkan kewaspadaan dan kinerjanya," kata Hendardi.
Hendardi mengatakan, Kepolisian perlu dituntut lebih meningkatkan kewaspadaan dan kinerjanya dalam mendeteksi setiap potensi terorisme yang muncul di masyarakat.
Sedangkan Kementerian Hukum dan HAM harus memastikan ketersediaan sistem pemasyarakatan atas warga binaan di lembaga pemasyarakatan agar bisa berjalan efektif dan berkontribusi pada pencegahan kekerasan baru.
Menurut Hendardi, peristiwa ledakan bom di Samarinda merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mempercepat langkah dan menyusun kebijakan yang komprehensif dalam menangani kasus-kasus intoleransi.
"Kasus intoleransi merupakan
soft terorism dan berpeluang atau rentan beralih menjadi gerakan radikal. Para aktor aksi teror adalah orang-orang yang telah melampaui pandangan intoleran dan melakukan tindakan-tindakan intoleran," tuturnya.
Hendardi mengatakan aksi intoleransi atas dasar agama dan ras seperti ledakan bom di Samarinda harus diatasi dengan berbagai pendekatan seperti politik, sosial dan hukum.
"Berbagai pendekatan itu, selain mempertegas penegakan hukum di Indonesia, juga untuk mencegah kekerasan baru dan disintegrasi bangsa terjadi," ujarnya.
(rel/asa)