Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Golkar ingin jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dikembalikan ke Setya Novanto. Saat ini Ketua DPR dipegang oleh politikus Golkar yang lain Ade Komarudin. Ade menggantikan Setya yang mundur karena kasus permintaan saham PT Freeport Indonesia.
Keputusan untuk mengembalikan jabatan Ketua DPR ke Setya diambil dalam rapat pleno kemarin.
Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan rapat pleno terhadap wacana tersebut sudah bulat. Rencana itu kemudian akan dikomunikasikan dengan pihak-pihak terkait termasuk unsur Dewan Pembina Golkar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keputusan sudah bulat. Tinggal tunggu waktu melihat perkembangan politik ke depan," kata Nurdin saat dihubungi Senin (21/11) malam.
Nurdin menambahkan, keputusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Kehormatan Dewan terkait kasus yang pernah menjerat Setya, menjadi landasan untuk mengembalikan jabatanya.
Sementara itu, terkait posisi Ade yang akan digantikan Setya, Nurdin mengatakan DPP masih belum membahasnya. Namun, ia yakin Ade akan patuh atas segala keputusan partai.
Ketua Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Golkar Yorrys Raweyai menyataka, tujuan pengembalian jabatan Setya untuk mengembalikan wibawa partai. Jadi bukan karena Ade melakukan sebuah kesalahan.
"Bukan karena ada masalah, tapi mengembalikan. Kebetulan sekarang dia (Setya) Ketua Umum partai. Ini soal wibawa partai saja," kata Yorrys.
Pengembalian posisi ini, kata Yorrys telah melewati proses kajian Dewan Pakar dan bagian hukum, pascarapat DPP Golkar pada 8 November yang mengacu pada putusan MK.
Yorrys menambahkan, nantinya pengurus akan melakukan lobi politik ke fraksi, dan pihak-pihak untuk menindaklanjuti keputusan rapat pleno ini.
Soal kasus Setya pertemuan Setya dengan petinggi Freeport, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), September lalu juga telah memutuskan untuk memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Setya dan pihak-pihak lain dalam sidang permohonan peninjauan kembali.
Dalam putusannya, MKD menilai proses persidangan perkara etik mantan ketua DPR itu tidak memenuhi syarat hukum untuk memberikan sebuah putusan.
Hal itu didasari atas putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 bahwa alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan MKD adalah tidak sah.
(sur/gil)