Jakarta, CNN Indonesia -- Dugaan pelanggaran aturan demonstrasi yang dituduhkan kepada 26 aktivis buruh akan diputuskan pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari ini, Selasa (22/11).
Terdakwa yang terdiri dari 23 buruh, dua pengacara publik, dan satu mahasiswa tersebut didakwa tidak menaati perintah kepolisian ketika berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan, 30 Oktober 2015.
Para aktivis dituduh tidak mengindahkan perintah Komisaris Besar Hendro Pandowo untuk menghentikan unjuk rasa karena waktu telah habis. Hendro saat itu menjabat Kepala Polres Metro Jakarta Pusat
Kasus tersebut bermula saat ratusan buruh menggelar unjuk rasa menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang berorientasi pada upah murah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai pasal 7 ayat (1) a Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2002 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum, unjuk rasa dibatasi hingga pukul 18.00 WIB.
Atas dasar waktu yang telah melewati tenggat, Hendro ketika itu meminta buruh membubarkan diri. Namun, imbauan Hendro dihiraukan massa.
Untuk membubarkan paksa demonstrasi, kepolisian kemudian menyemprotkan air dan gas air mata ke arah pedemo dari
watercanon. Polisi lantas menangkap 26 aktivis tersebut.
Di satu sisi, pegiat hak asasi manusia menuding kepolisian melakukan kekerasan kepada pedemo. Kekerasan itu antara lain berupa pemukulan hingga penyeretan.
Di sisi lain, salah satu terdakwa, yakni pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Tigor Hutapea menilai, perkara yang menjeratnya terkesan dipaksakan. Ia dan rekan-rekannya didakwa melanggar Pasal 216 dan 218 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Mudah-mudahan dalam putusan hari ini majelis hakim menyatakan kami tidak terbukti bersalah melakukan pasal yang didakwakan," ujar Tigor sebelum sidang.
(abm/gil)