Komnas HAM Sebut Penembakan di Manokwari Melanggar HAM

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Selasa, 22 Nov 2016 16:42 WIB
Komnas HAM menduga peristiwa kekerasan di Sanggen, Manokwari, Papua Barat merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Bukti permulaan yang cukup telah dikumpulkan.
Komnas HAM menduga peristiwa kekerasan di Sanggen, Manokwari, Papua Barat merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Bukti permulaan yang cukup telah dikumpulkan. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menyatakan peristiwa kekerasan di Sanggen, Manokwari, Papua Barat merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dia mengklaim pihaknya telah mengumpulkan bukti yang cukup atas dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa 26-27 Oktober lalu itu.

"Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia," kata Natalius dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (22/11).

Pelanggaran itu, menurut Natalius terkait berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan di bidang hak asasi manusia. Di antaranya hak untuk hidup; hak untuk bebas dari penyiksaan dan tidak mendapat perlakukan kejam dan manusiawi; hak untuk memperoleh keadilan; hak atas rasa aman; hak anak; hak atas kepemilikan; hak atas kesehatan dan hak atas rasa aman.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Komnas HAM telah melakukan pemantauan dan penyelidikan di Sanggeng, pada 9 – 11 Oktober. Selama proses pemantauan, pihaknya meminta keterangan korban dan keluarganya, Polda Papua Barat dan jajarannya, DPRD Papua Barat, Gubernur Papua Barat serta meninjau ke lokasi kejadian dan rumah sakit TNI AL.  

Natalius mengatakan, pihaknya menerima informasi dan pengaduan terkait dengan peristiwa Sanggeng, Manokwari, dari berbagai elemen masyarakat di Papua Barat pada 27 Oktober 2016. 

Beberapa diantaranya dari Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP2BH). Para pengadu melaporkan jajaran Polda Papua Barat, terutama Brimob dan Polres Manokwari, telah melakukan kekerasan pada peristiwa tersebut.

Peritiwa itu bermula dari penikaman Vijai Pauspaus, seorang muslim asli Papua dan lima orang warga pendatang keturunan suku tertentu. Di dalam keributan tersebut terjadi aksi saling pukul antara Vijay dan lima orang warga pendatang. Salah seorang warga pendatang melakukan penikaman terhadap Vijay Pauspaus.

Pihak kepolisian dinilai tidak mampu mengamankan lima orang warga pendatang yang diduga sebagai pelaku penikaman terhadap Vijay. Bahkan salah seorang yang diduga sebagai pelaku penikaman bernama Samsir telah melarikan diri dari tangan polisi.

Keributan itu berlanjut. Sekitar 200 warga Sanggeng berkumpul dengan membawa alat berupa parang, batu, kayu, potongan besi. Merekakemudian dihalau oleh anggota Patroli Rayon dan Polsek Kota.  

Natalius mengatakan, terdapat fakta bahwa pimpinan kepolisian telah memerintahkan anggotanya untuk melakukan tembakan. Massa kemudian mundur ke dua arah ke Sanggeng Dalam dan gang masuk depan pasar Sanggeng dan anggota mundur ke pos Rayon B. Namun lima menit kemudian massa melakukan pelemparan batu ke arah anggota kepolisian.

Peristiwa itu menyebabkan satu orang tewas yakni Onesimus Rumayom, lima orang terkena tembakan, sembilan orang dianiaya, dan seorang Komandan Koramil Kota Manokwari terkena pembacokan oleh massa. Sedangkan korban akibat tembakan gas air mata sebanyak lima anak, empat perempuan dan seorang ibu usia lanjut.
 
Natalius mengatakan, penindakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian Papua Barat harus dipilah dalam beberapa peristiwa. Pertama, penikaman Vijai Pauspaus telah direspon oleh Kepolisian Resor Manokwari dengan mendatangi TKP. Namun menurutnya, pihak kepolisian tidak merespon secara cepat untuk memberikan kepastian hukum kepada keluarga korban.

Kedua, dalam menindak peristiwa tersebut polisi melakukan penembakan hingga menyebabkan dua belas orang korban. Natalius menduga telah terjadi pelanggaran atas Protap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Ketiga, polisi melakukan pelanggaran prosedur dan ketidakprofesionalan dalam operasi penangkapan para pelaku karena salah sasaran, serta kesalahan penemabakan dan pemukulan. Hal itu menunjukan lemahnya koordinasi di tingkat pengendali.

Papua Phobia

Komisioner asal Papua itu mengatakan, proses tindakan penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian Papua Barat dinilai lebih cenderung memihak atau melindungi warga pendatang. Hal ini menjadi pemicu adanya protes warga masyarakat Papua yang ada di Sanggeng.

"Tindakan kepolisian tidak imparsial dan tidak netral ketika orang Papua berhadapan dengan warga pendatang," katanya.

Tindakan penegakan hukum di Papua yang cenderung berpihak pada warga pendatang, kata Natalius, merupakan tindakan diskriminatif atas dasar sentimen terhadap Orang Papua Melanesia atau Papua phobia.

Dia mengatakan, Komnas HAM berkesimpulan bahwa tindakan Papua phobia atau tindakan diskriminatif atas dasar sentimen orang Papua telah berlangsung 50 (lima puluh) tahun lamanya.  

"Dalam kurun waktu 50 tahun tersebut, tidak pernah ditemukan adanya tindakan kekerasan aparat yang korbannya adalah warga pendatang," kata Natalius. (pmg/asa)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER