Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai pemerintah kurang peduli pada kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) setelah sepuluh tahun Prinsip Yogyakarta.
Prinsip Yogyakarta merupakan panduan global untuk menghapuskan stigma negatif dan diskriminasi bagi kelompok LGBT yang dituliskan dalam 29 prinsip.
"Harus ada penjelasan sosialisasi yang lebih menyeluruh dan komprehensif, bahwa perlindungan terhadap LGBT bagian dari perlindungan HAM," kata Nurkhoiron saat diskusi di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (23/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nurkhoiron mengatakan kepedulian negara terhadap kaum LGBT perlu ditingkatkan. Pasalnya Indonesia sudah meratifikasi Pengesahan International Covenant dalam dua Undang-Undang (UU) yang biaa menjadi acuan perlindungan kaum LGBT. Yaitu pada UU nomor 11 tahun 2005 tentang hak ekonomi sosial budaya dan UU nomor 12 tahun 2005 tentang hak sipil politik.
Berdasarkan data Forum LGBT Indonesia, sejak Janurai hingga Maret 2016 terdapat 142 kasus kekerasan pada kaum LGBT. Kekerasan itu dilakukan berbagai pihak dalam beragam bentuk.
Rinciannya, 27 persen dilakukan oleh aparat negara, 27 oleh persen organisasi massa, 22 oleh media, 11 persen oleh warga individu, 8 persen oleh instansi pendidikan, 4 persen organisasi keprofesian, 1 persen oleh warga kelompok dan 1 persen oleh keluarga.
Koordinator Nasional Kebijakan Publik Forum LGBT Indonesia Rian Qorbari menjelaskan, data itu membuktikan kurangnya kepedulian pemerintah dalam melindungi HAM kaum LGBT. Bahkan dia pernah mengalami kekerasan saat polisi membubarkan acara pelatihan HAM untuk LGBT di Jakarta.
Ketika itu polisi membubarkan acara karena belum memiliki surat izin. Selain itu, pembubaran acara dilakukan untuk mencegah adanya ancaman pihak lain yang akan membuat suasana tidak aman.
"Buat apa surat acara, kan acara kami di hotel. Pemerintah seharusnya punya kewajiban melindungi HAM kaum LGBT. Tapi berdasarkan data yang kami kumpulkan, pemerintah malah menjadi pelaku," kata Rian.
Dalam kesempatan yang sama, Kabag Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Martinus Sitompul mengatakan, bukan surat izin acara yang perlu diberikan pada kepolisian. Melainkan surat pemberitahuan tentang penanggung jawab acara, tema acara, dan pihak yang bisa dihubungi terkait acara tersebut.
Menurutnya, surat pemberitahuan itu untuk mengetahui pihak yang bertanggung jawab apabila polisi mengambil tindakan ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Martinus mengatakan dalam melakukan pengamanan pasti ada pihak yang diruguikan.
Dia menjelaskan, polisi memiliki empat sasaran dalam mengamankan suatu acara. Pertama, orang yang terlibat dalam acara dalam kondisi aman. Kedua, lokasi acara berlangsung aman. Ketiga, benda-benda di sekitar lokasi tidak rusak. Keempat, kegiatan acara harus berjalan lancar.
"Sasaran keempat ini sering tidak terlaksana," kata Martinus.
Kerja Sama LGBT dan PolisiRian mengatakan, selama ini pihaknya selalu bekerja sama dengan kepolisian dalam menangani kasus pelanggaran HAM dan perlakuan diskriminasi pada kaum LGBT. Salah satunya penandatanganan MoU antara kepolisian setempat dengan komunitas LGBT terkait kerja sama tersebut.
Namun, saat ini hanya Komunitas Sehati Makasar, komunitas LGBT di Makasar, yang melakukan kerja sama itu pada tahun ini. Rian berharap kerja sama itu dapat dicontoh 125 komunitas LGBT lain yang tersebar di seluruh Indonesia.
Martinus meyambut baik kerja sama tersebut. Dengan demikian, katanya, salah paham di antara kedua pihak tidak akan terjadi.
Nurkhoiron pun menilai kerja sama itu merupakan langkah yang tepat untuk membangun sinergi perlidungan HAM.
"Ini salah satu implementasi, artinya ada rekognisi di lembaga kepolisian, mengakui keberadaan kelompok LGBT yang harus dilindungi," katanya.
(pmg/yul)