Jakarta, CNN Indonesia -- Polri menyatakan penangkapan terhadap sejumlah orang terkait kasus dugaan makar tidak akan merusak iklim demokrasi di Indonesia. Kepolisian mengklaim penindakan tersebut telah sesuai dengan KUHP.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, kepolisian menjadikan pasal 110 KUHP sebagai menjadi dasar hukum untuk menjerat Sri Bintang Pamungkas dan sembilan orang terduga pelaku makar lainnya.
Pasal itu, kata Martinus, memuat pemufakatan jahat sebagai salah satu unsur tindak pidana makar. Ia berkata, unsur tersebut, sebagaimana diatur pasal 87 KUHP, berwujud upaya penggulingan pemerintah, pemberontakan, maupun pemisahan diri dari negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Martinus menuturkan, recana menduduki gedung parlemen dan mendesak penyelenggaraan sidang istimewa MPR untuk mencabut mandat terhadap Presiden Joko Widodo termasuk dalam pemufakatan jahat.
"Rencana itu merupakan delik formil yang tidak perlu terjadi dulu peristiwanya untuk dipidanakan," kata Martinus di Jakarta, Selasa (6/12).
Pekan lalu, Polri menetapkan sepuluh orang menjadi tersangka kasus dugaan makar. Mereka ditangkap beberapa jam sebelum #Aksi212 berlangsung di kawasan Monumen Nasional.
Sepuluh tersangka itu adalah Kivlan Zein, Adityawarman Thahar, Ratna Sarumpaet, Firza Huzein, Eko Santjojo, Alvin Indra, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, dan kakak beradik Rizal dan Jamran.
Penindakan Polri itu dikecam Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf. Ia meminta aparat penegak hukum untuk membedakan makar dengan dengan kritik.
"Jangan sampai makar diidentikkan dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan menyampaikan pendapat," kata Araf.
Senada, Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan menilai aparat kepolisian seharusnya bersikap hati-hati dengan tuduhan makar. Ia berharap pendekatan keamanan yang biasa terjadi di era Presiden Soeharto itu tidak terjadi lagi.
"Jangan terlalu represif, ini seperti kembali pada rezim Soeharto," kata Trimedya.
(abm/rel)