Setop Penjualan Kayu Ilegal, KLHK Perkuat SVLK

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Rabu, 07 Des 2016 00:26 WIB
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dinilai efektif untuk menghapus citra Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan pembalakan liar.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dinilai efektif untuk menghapus citra Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan pembalakan liar. (ANTARA FOTO/Herry Murdy Hermawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia saat ini dinilai makin mudah melakukan perdagangan kayu ke negara-negara Uni Eropa melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Sistem ini memperketat perdagangan dengan hanya menjual kayu legal yang telah diverifikasi untuk diekspor ke luar negeri.

Kepala Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas Kayu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Mariana Lubis mengatakan, terdapat sejumlah tahapan untuk memperoleh sertifikat legalitas kayu.

Salah satu yang terpenting adalah syarat dokumen di antaranya adalah Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), izin gangguan (HO), dokumen Amdal, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan sejumlah dokumen lainnya. Namun syarat dokumen ini dapat disesuaikan dengan kriteria perusahaan itu sendiri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Misal untuk industri rumah tangga, tidak mungkin ada Amdal. Tapi kami dapat gunakan izin setempat saja," ujar Mariana di Jakarta, Selasa (6/12).

Pembagian syarat bagi sejumlah kategori perusahaan ini dianggap lebih adil dan memudahkan untuk memperoleh sertifikat legalitas kayu.

Sebab, ada sekitar 13 kategori perusahaan mulai dari pemegang hak pengusahaan hutan, konsensus pemegang tanaman, termasuk perusahaan yang lebih kecil seperti industri kayu rumah tangga.


Bersifat Mandatori

Sementara, menurut Mariana, SVLK ini ditujukan bagi semua perusahaan yang memanfaatkan hasil hutan kayu hingga proses penjualannya.

"Semua harus dapat sertifikat ini karena sifatnya mandatori," katanya.

Mariana tak menampik munculnya keluhan dari sejumlah pengusaha kayu lantaran sulitnya proses pengurusan SVLK dan memakan biaya yang cukup mahal.

Untuk mendapatkan SVLK, mereka harus menunggu lebih dari sebulan dengan biaya minimal Rp20 juta. Umumnya, kata dia, masalah ini merugikan bagi industri kayu rumah tangga.

"Perusahaan yang kecil ini masalahnya memang pada keterbatasan akses dan pendanaan," tutur Mariana.

Biaya bagi tiap perusahaan, lanjutnya, berbeda-beda tergantung besar kecil perusahaan. Untuk perusahaan kecil, Mariana menaksir biayanya tak lebih dari Rp20 juta. Biaya ini pun bisa diakali dengan membuat secara berkelompok.

Dalam satu kelompok bisa terdiri dari empat sampai lima perusahaan. Apabila satu kelompok mesti membayar biaya sebesar Rp20 juta, maka satu perusahaan hanya perlu membayar Rp4 juta.

Celah Korupsi

Sementara itu, Ketua Forum Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen Robianto Koestomo, menjelaskan, selain soal biaya, kendala untuk memperoleh sertifikat ini adalah persyaratan dokumen. Banyaknya dokumen yang mesti dipenuhi, dikhawatirkan menjadi celah bagi sejumlah pihak untuk meraup keuntungan.

Ia mencontohkan, dalam suatu perusahaan harus memiliki sertifikat lingkungan maupun TDP. Untuk mengurus itu, menurut Robianto, biayanya bisa mencapai Rp100 juta. Ketidaksiapan perusahaan dalam memenuhi syarat ini membuat mereka akhirnya tak lolos verifikasi dan gagal mendapatkan sertifikat legalitas kayu.

"Kendalanya itu ya kalau mereka tidak siap. Kalau sudah ikuti aturan maka otomatis layak mendapatkan sertifikat," ucapnya.

Sistem ini, menurutnya, efektif untuk menghapus citra Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan illegal logging atau pembalakan liar. Dengan demikian, kredibilitas bangsa Indonesia meningkat dan dianggap telah mampu mengatasi masalah tersebut.

Kewajiban SVLK ini berawal dari adanya lisensi ekspor kayu legal yang merupakan bagian dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade and Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) atau Perjanjian Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan Produk Kehutanan antara Indonesia dengan Uni Eropa. Perjanjian itu sejak 2003 dan diratifikasi pada 2014. (asa)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER