Buron, Tersangka Penyuap Deputi Bakamla Diminta Serahkan Diri

Joko Panji Sasongko | CNN Indonesia
Kamis, 15 Des 2016 17:11 WIB
KPK meminta Dirut PT MTI Fahmi Darmawansyah menyerahkan diri. KPK juga minta Ditjen Imigrasi mencekal Fahmi pergi ke luar negeri.
KPK meminta Dirut PT MTI Fahmi Darmawansyah menyerahkan diri. KPK juga minta Ditjen Imigrasi mencekal Fahmi berpergian ke luar negeri. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi meminta Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Darmawansyah untuk menyerahkan diri. Fahmi ditetapkan KPK menjadi tersangka kasus dugaan suap proyek monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun anggaran 2016.

"Sampai saat ini (Fahmi) masih dalam proses pencarian. Dia belum ditangkap. Setelah pengumuman tersangka, akan lebih baik (ia) bekerja sama dengan penegak hukum. Itu akan membantu pengungkapan perkara dan juga akan lebih baik bagi pihak terduga tersebut," ujar Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah di Kantor KPK, Jakarta, Kamis (15/12)

Febri mengatakan, saat operasi tangkap tangan (OTT) di kantor Bakamla, kemarin, penyidik KPK menangkap Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi karena diduga menerima uang sekitar Rp2 miliar dari dua pegawai MTI, yaitu Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usai dari kantor Bakamla, penyidik KPK kemudian mendatangi kantor PT MTI yang berada di kawasan Jakarta, namun Fahmi tidak ada di tempat. Menurut Febri, Fahmi diduga memiliki informasi penting terkait kasus tersebut. PT MTI merupakan pemenang tender pengadaan monitoring satelit Bakamla.

Selain meminta Fahmi untuk menyerahkan diri, KPK juga berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Imigrasi agar Fahmi dicegah pergi ke luar negeri.

KPK juga telah resmi menahan tiga tersangka. Eko ditahan di Rutan Polres Jakarta Pusat, Hardy Stefanus di Rutan Polres Jakarta Timur dan Muhammad Adami Okta di Rutan Guntur, Jakarta Pusat.

"Penahanan dilakukan hingga 20 hari ke depan sesuai dengan KUHP," ujar Febri.

Commitment Fee 7,5 Persen

Febri berkata, KPK menduga ada perjanjian commitment fee sebesar 7,5 persen dari total nilai proyek antara Eko dan PT MTI. Fee tersebut diduga balas jasa bagi Eko selaku Kuasa Pengguna Anggaran agar memudahkan PT MTI memenangkan tender.

"Fee 7,5 persen itu masih perlu dipastikan. Rinciannya kami belum dapatkan," ujar Febri.

Febri berkata, KPK juga tidak menutup kemungkinan ada temuan lain yang berasal dari sejumlah proyek yang ada di Bakamla. Namun, ia menegaskan, sampai saat ini KPK tengah fokus menyidik kasus dugaan suap tersebut.

Dalam informasi yang diakses dari https://lpse.bakamla.go.id/, pengadaan lima unit monitoring satelit Bakamla untuk ditempatkan di Tarakan, Ambon, Kupang, Semarang dan Jakarta. Nilai pagu anggaran sekitar Rp402,7 miliar.

Nilai total harga perkiraan sendiri (HPS) sekitar Rp402,2 miliar. Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan tahun 2016.

Pengadaan tersebut dimulai pada 9 Agustus 2016, sekitar pukul 22.26 WIB dan ditutup 7 September 2016. Terdapat 41 peserta lelang.

Pengadaan alat monitoring satelit merupakan satu dari tiga proyek yang digarap Bakamla di bidang surveillance system. Proyek lainnya adalah long range camera beserta tower, instalasi dan pelatihan untuk personil Bakamla RI; dan pengadaan backbone coastal surveillance system yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS).

Atas tindakannya, Hardy, Adami, dan Fahmi selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a, atau huruf b, dan atau Pasal 13 UU Tipikor. Sedangkan penerima suap Eko dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor.





(rel/rel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER