Jakarta, CNN Indonesia -- Tersangka kasus dugaan korupsi Bakamla Eko Susilo Hadi diduga hanya melaporkan satu kali harta kekayaannya kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada 2002.
Eko saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Timur.
Ketika terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pekan ini, dia menjabat sebagai Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Badan Keamanan Laut (Bakamla). Dia juga sempat menjadi Sekretaris Utama Bakamla.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikan Eko terakhir adalah pada tanggal 10 Oktober 2002. Saat itu, KPK pun belum berdiri.
Lembaga yang bertugas melakukan itu adalah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Data Eko sendiri diproses pada 30 Januari 2003.
Dalam UU KPK, kewajiban penyelenggara negara terkait LHKPN adalah melaporkan harta kekayaan pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun. Tak hanya itu, namun juga dia wajib bersedia untuk diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat serta mengumumkan kekayaannya.
Berdasarkan situs KPK, harta Eko pada 2002 mencapai Rp166,386 juta yang terdiri dari tanah dan bangunan di antaranya terdapat di Bekasi, Jawa Barat.
Pada Jumat, KPK menetapkan Eko sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat pemantau satelit Bakamla. Dia diduga menerima suap Rp2 miliar dari PT Melati Technofo Indonesia (MTI) yang mendapatkan proyek senilai Rp400 miliar tersebut.
Sebelum di Bakamla, Eko juga dilaporkan pernah menjabat sebagai Asisten Tindak Pidana umum Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung pada 2010.
Dalam kasus ini selain Eko, KPK telah menetapkan tiga tersangka lain yakni Direktur Utama PT MTI Fahmi Darmawansyah dan dua pegawainya Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus.
Tersangka di Luar NegeriEko dan dua pegawai MTI kini sudah ditahan KPK. Sementara Fahmi masih dalam pencarian. Ia ditengarai berada di luar negeri dan diminta menyerahkan diri.
Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan, modus yang dilakukan oleh Eko agar PT MTI memenangkan proyek adalah dengan mengatur spesifikasi barang yang ditenderkan.
Meski proses lelang dilakukan secara daring, kata Agus, Eko diduga sengaja menyesuaikan barang Bakamla dengan barang yang dimiliki oleh PT MTI.
"Tender
online sama sekali tidak menghilangkan korupsi. Karena itu terkait menentukan spesifikasi. Begitu spesifikasi mengarah pada orang tertentu sudah sulit ada kompetisi," ujarnya beberapa waktu lalu.
(asa)