Jakarta, CNN Indonesia -- Pemblokiran sepihak yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika terhadap situs suarapapua.com sejak 4 November hingga 20 Desember 2016 dianggap janggal oleh sejumlah pihak.
Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) bersama Perkumpulan Jubi, Yayasan Satu Keadilan, Papua Itu Kita, Gema Demokrasi, Safenet dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengkritisi sikap janggal Kominfo tersebut.
"Adapun pemblokiran yang dilakukan oleh kominfo ini, kita mengkritisi karena banyak terjadi kejanggalan", kata kepala divisi riset LBH Pers, Asep Komarudin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi catatan antara lain, pemilik situs yang tidak mendapatkan informasi dari Kominfo terkait pemblokiran website. Pihak suarapapua.com justru mendapat informasi dari para pembacanya bahwa situs tidak dapat diakses.
Kominfo membenarkan bahwa pihaknya tidak memberikan informasi kepada pemilik situs suarapapu.com, alasannya, situs ini melanggar ketentuan pasal 40 UU ITE dan juga Permen tentang pemblokiran.
Asep menilai pemblokiran ini adalah tindakan sewenang-wenang Kominfo. Keberadaan Pasal 40 UU ITE terkait dengan kewenangan luas pemerintah untuk memblokir sebuah website tanpa ada barometer dan mekanisme yang jelas, tidak sesuai dengan standar HAM dan bertentangan dengan Pasal 28J UUD 1945.
Selain itu, suarapapua.com adalah portal berita berbadan hukum. Ia mengatakan, suarapapua.com sudah memenuhi standar pendataan perusahaan media oleh dewan pers.
"Hal itu mengindikasikan bahwa suarapapua.com dilindungi oleh UU Pers, kalau kita baca lagi dalam UU Pers sekarang ini sudah tidak diperkenankan lagi namanya pembredelan," tambahnya.
Senada dengan Asep, Damar Juniarto dari Safenet juga mempertanyakan pasal 40 UU ITE sebagai basis legal pemblokiran.
"Basis pasal 40 yang baru dalam revisi UU perlu dipertanyakan, karena sampai sejauh ini penyampaian ekspresi politik di Papua bukan kegiatan yang dilarang. Terlepas dari apakah mereka mendukung NKRI atau mau merdeka atau punya kedaulatan sendiri, sebatas itu ekspresi politik itu bukan sebuah pelanggaran," jelasnya.
Bernard Agapa dari komunitas Papua Untuk Kita mengungkapkan kekecewaan awak media suarapapua.com terhadap pemblokiran ini. Langkah Kominfo yang melakukan pemblokiran sepihak menurutnya bisa menurunkan kepercayaan awak media suarapapua.com yang notabene adalah warga Papua asli terhadap pemerintah.
"Teman-teman di suarapapua jelas-jelas kecewa terhadap pemerintah karena tidak ada pemberitahuan resmi ataupun peringatan ataupun protes terhadap konten yang dimuat," ungkapnya.
Hal yang perlu digarisbawahi, menurut Iman D. Nugroho dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), adalah di Indonesia terutama di Papua, ada banyak hal yang sebenarnya belum membaik di era pemerintahan Joko Widodo.
"Kehadiran desakan untuk membuka blokir situs ini menjadi satu poin masukan kalau memang pemerintah Jokowi serius, hal-hal semacam ini tidak ada lagi," tambahnya.
Meski akses situs suarapapu bisa dipulihkan, namun sejumlah lembaga independen ini tetap mendesak pemerintah memberikan klarifikasi tertulis terkait pemblokiran dan pemulihan kerugian yang dialami suarapapua.com, termasuk pihak yang melaporkan beserta alasannya. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk membuat rumusan mengenai mekanisme transparan terkait pemblokiran situs.
(evn)