Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan, mayoritas pejabat di lingkungan peradilan yang dikenai sanksi sepanjang tahun 2016 adalah hakim.
Dari 114 orang yang dijatuhi sanksi pada tahun 2016, 52 di antaranya adalah hakim. Sementara sisanya adalah pejabat struktural, fungsional, dan staf. Jumlah ini juga turun dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 266 orang.
Sanksi yang diberikan beragam, mulai dari ringan, sedang, hingga berat. Hatta menyatakan dari 52 hakim, 29 orang di antaranya dijatuhi sanksi ringan, 11 orang sanksi sedang, dan 12 orang sisanya sanksi berat. Sanksi berat dilakukan dengan nonpalu bagi hakim dalam tenggang waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal ini jadi bukti bahwa MA memang serius melakukan pembenahan internal," kata Hatta Ali di kantor MA, kemarin.
Dari jumlah tersebut, Ali melanjutkan, terdapat tiga orang hakim tingkat pertama yang menjalani sidang di Majelis Kehormatan Hakim. Jumlah itu turun dibandingkan tahun 2015 yakni enam orang dan tahun 2014 sebanyak 13 orang.
"Penjatuhan sanksi berkurang. Dari tiga orang itu, dua sudah diberhentikan dan satu lagi prosesnya masih berjalan," ujar Ali.
Salah satu yang telah diberhentikan dengan hormat adalah Ketua Pengadilan Agama Padang Panjang berinisial ED. Ia ketahuan berselingkuh dengan pria yang bukan suaminya di sebuah hotel di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, Oktober lalu.
Komisi Yudisial memiliki catatannya sendiri. Lembaga pengawas hakim itu mencatat, selama tahun 2016, terdapat 28 pejabat pengadilan yang terdiri dari 23 hakim dan lima non hakim terjerat beragam kasus. Angka itu belum termasuk jumlah pejabat pengadilan yang terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Sejak Januari hingga September banyak dari OTT yang melibatkan aparat pengadilan khususnya hakim," ucap juru bicara KY Farid Wajdi melalui keterangan tertulis.
Farid menilai, penurunan jumlah pejabat peradilan yang menjalani sidang MKH mestinya pun tak menjadi acuan keberhasilan. Terlebih hakim masih mendominasi sebagai pejabat peradilan yang bermasalah.
Meski demikian, Farid mengakui, turunnya jumlah pelanggaran tak lepas dari kenaikan gaji hakim melalui PP Nomor 94 Tahun 2012. Namun selain berdampak positif, kebijakan itu menurutnya juga menimbulkan pergeseran modus pelanggaran. Dari yang awalnya dilakukan secara kasar dan terang-terangan, kini lebih rapi dan sistemik.
"Memang signifikansi kebijakan itu mampu menekan hakim bertindak buruk benar adanya. Tapi apa itu satu-satunya solusi, tentu saja tidak," ucapnya.
Dari catatan KY, kasus penyuapan masih mendominasi pelanggaran yang dilakukan hakim. Ada pun rinciannga adalah penyuapan 42,2 persen, perselingkuhan 28,9 persen, indisipliner 11,1 persen, narkotik 6,7 persen, memainkan putusan 4,4 persen dan lainnya 6,7 persen.
(rel)