Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan pemerintahan Presiden Joko Widodo agar reklamasi daerah pesisir di Indonesia tidak diatur oleh pihak swasta.
Peringatan disampaikan dengan mengirimkan surat kepada tiga menteri yaitu Menteri Kelautan dan Perikana, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, KPK mengirim surat berisi empat poin. “Poin yang paling penting direkomendasikan adalah setiap reklamasi sebaikan dipimpin oleh pemerintah, bukan diusulkan oleh swasta,” kata Laode kepada CNNIndonesia.com, 17 November 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Pengendalian harus sepenuhnya berada di tangan pemerintah, dan bukan swasta.”
Laode mengaku, sikap kritis KPK terhadap kebijakan reklamasi oleh pemerintah telah disampaikan dalam berbagai forum, termasuk dalam rapat Kabinet Kerja. KPK bahkan menggelar Dialog Publik, 4 Oktober lalu, dengan tajuk “Kebijakan Rekalamsi, Menilik Tujuan, Manfaat dan Efeknya” yang menghadirkan Menteri Susi Pudjiastuti dan Menteri Siti Nurbaya Bakar.
Dalam surat kepada tiga menteri, KPK menekankan bahwa polemik reklamasi dianggap dapat mengancam keberlanjutan pembangunan poros maritim di Indonesia. Untuk itu, KPK memunculkan empat rekomendasi.
 Isi surat KPK untuk tiga menteri. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
Sementara Dialog Publik yang digagas KPK, salah satunya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pada keberlanjutan dan daya dukung lingkungan serta pembangunan poros maritim yang terancam gagal jika reklamasi pesisir mengabaikan lingkungan, tidak mengedepankan kepentingan sosial, serta ekonomi masyarakat setempat.
“Serta tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” mengutip lampiran surat.
Latar belakang lainnya yaitu, KPK menyebut ada tiga persoalan hukum seputar kebijakan reklamasi: ada sekitar 37 titik reklamasi di seluruh Indonesia yang terindikasi melanggar peraturan dan prosedur; gugatan masyarakat terhadap pemberian izin pembangunan pulau-pulau reklamasi di wilayah Utara Jakarta yakni Pulai F, I, K, masih berlangsung.
“Ada indikasi tindak pidana korupsi dalam proses penerbitan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi DKI Jakarta.”
State Capture CorruptionSejalan dengan pernyataan KPK agar pemerintah jangan diatur swasta, Rimawan Pradiptyo, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengatakan ada potensi
state capture corruption terkait reklamasi. Potensi itu disebut sangat mungkin muncul dalam proses pelaksanaan reklamasi.
State capture corruption berarti kebijakan yang bukan dari pemerintah, melainkan disetir dan dikendalikan oleh kelompok pengusaha.Rimawan Pradiptyo, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM Yogyakarta |
“Pengusaha mengusulkan sesuatu dan pemerintah memberikan stempel agar usul itu dapat dijalankan,” kata Rimawan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (5/1).
Disebut
state capture corruption, lanjut Rimawan, karena berbagai aspek yang seharusnya dihitung oleh pemerintah tetapi tidak dilakukan. Seperti, siapa mendapatkan apa, bagaimana manfaat dan akibatnya bagi masyarakat sekitar, dan bagaimana kesejahteraan masyarakat terdampak.
Menurut Rimawan, pemerintah harus memiliki perhitungan yang tepat berdasarkan kajian menyeluruh dari rencana sebuah kebijakan. Namun yang terjadi dengan reklamasi Jakarta, masih menyisakan banyak pertanyaan yang tak terjawab.
Rimawan menjelaskan, salah seorang pakar hukum menyebut, ada sejumlah konsideran yang tidak menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan reklamasi teluk Jakarta.
Hal itu memunculkan pertanyaan di benak Rimawan, mengapa kebijakan ini tetap diteruskan, siapa yang diuntungkan jika reklamasi berlanjut, dan bagaimana sebenarnya hasil kajian menyeluruh yang dilakukan pemerintah?
“Potensi
state capture corruption banyak karena sebagai sebuah kebijakan, ada terlalu banyak hal yang tidak dijelaskan,” tuturnya.
(rdk/asa)