Jakarta, CNN Indonesia -- Markas besar di tiga matra TNI didesak transparan soal mutasi dan kenaikan pangkat para perwiranya. Dalam periode 2005 hingga 2015, promosi di lingkungan militer disebut berjalan di tempat.
Peneliti
Centre for Strategic and International Studies Evan Laksmana menyebut keterbukaan kebijakan mutasi merupakan solusi atas stagnasi tersebut.
"Transparansi internal perlu untuk perwira agar mereka mengetahui langkah yang harus mereka lakukan agar mendapatkan kenaikan pangkat," ujarnya di Jakarta, Kamis (12/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keterbukaan proses mutasi, kata Evan, juga berkaitan dengan rekrutmen di lembaga pendidikan tentara seperti Akademi Militer. Ia berkata, jika syarat penerimaan taruna diperketat, TNI harus terlebih dulu memaparkan sistem kepangkatan yang mereka terapkan.
Pada penelitiannya, Evan menemukan kemandekan (
lock jam) promosi di kalangan perwira tinggi TNI, terutama dari pangkat kolonel menuju bintang satu atau setara brigadir jenderal, laksamana pertama atau marsekal pertama.
Dalam satu dekade terakhir, ia mencatat, dengan jumlah perwira yang mencapai 3.956 orang, mutasi terjadi 135 kali. Artinya, kata Evan, dalam setahun 360 perwira tinggi mendapatkan mutasi.
Evan mengatakan, persentase mutasi vertikal atau kenaikan pangkat pada 2005 sampai 2015 hanya 34 persen. Separuh lebih mutasi yang diputuskan markas besar angkatan merupakan mutasi horisontal.
Dosen Universitas Pertahanan Kusnanto Anggoro menuturkan, mutasi horisontal merupakan syarat yang harus dipenuhi perwira TNI untuk mendapatkan kenaikan pangkat.
Kusnanto berkata, pada era pemerintahan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono mutasi horisontal lebih sering terjadi dibandingkan era sebelumnya.
"Kecenderungan di pemerintahan SBY, banyak horisontal, itu untuk memenuhi kualifikasi formal, jadi tidak bisa dipisahkan," katanya.