Jakarta, CNN Indonesia -- "
Islam is My Life, Jihad is My Way."
Kalimat itu tertulis di bagian atas pintu kelas Pesantren Al-Islam di Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur.
Al Islam pernah mendapat sorotan terkait peristiwa bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang, sebagian besar warga negara Australia. Pendiri pesantren ini memiliki hubungan darah dengan tiga saudara pelaku bom, yakni Amrozi, Ali Gufron dan Ali Imron.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lokasi lembaga pendidikan agama ini dapat ditempuh dua jam berkendara mobil dari kota Lamongan. Bangunannya terdiri atas dua tingkat yang dicat krem dan coklat.
Di bagian bawah digunakan untuk tempat tinggal para santri dan ruangan para pengajar; sementara di lantai atas adalah ruang kelas tempat kegiatan belajar mengajar dilakukan.
"Di sini ya belajar, salat, makan, menghafal, belajar lagi, salat lagi, belajar lagi, menghafal lagi," kata Uwais Al-Qarni, 17, satu-satunya santri yang bersedia berbincang dengan CNNIndonesia.com, pada awal Januari lalu.
Di luar itu, tidak ada kegiatan lain yang para santri lakukan, menurutnya. "Tidak ada, menghafal saja sampai malam."
Remaja itu menyatakan tidak tahu betul soal Al-Islam. Dia memutuskan bersekolah di sana karena nama pesantren tersebut terkenal di daerah asalnya.
"Tahu dari ustaz-ustaz," ujarnya yang juga mengaku kelelahan dengan kegiatan rutin di sana.
Para santri dan ustaz dari pondok pesantren ini memang dikirim ke daerah-daerah untuk berdakwah. Demikian kata ketua yayasan sekaligus penanggung jawab, Muhammad Chozin.
Chozin mengatakan hal ini adalah bagian dari dakwah, atau penyebaran ajaran, dan tarbiyah, atau pendidikan. Tarbiyah dan dakwah adalah dua dari tiga tahap dalam penegakan syariat Islam.
Setelah dua tahap itu, yang terakhir adalah jihad.
"Mungkin ini saudara-saudara, Ali Gufron, Mas Amrozi, Ali Imron yang masih di Polda itu, itu mungkin menganggap saat ini sudah harus dilakukan jihad. Saya masih dalam tahapan pertama itu, masih belum tuntas. Sehingga ya saya tidak menyalahkan saudara-saudara saya itu," kata Chozin saat ditemui di rumahnya, tidak jauh dari pondok.
 Mukhlas alias Ali Gufron, pelaku bom Bali. (REUTERS/Darren Whiteside) |
Chozin menjelaskan, pondok pesantren yang dia dirikan pada 1993 silam ini menginginkan syariat Islam bisa ditegakkan sepenuhnya dan keluarganya bisa menjalani kehidupan sesuai dengan yang diajarkan agama.
Sejarah sekolah ini bermula ketika Ali Gufron dipondokkan di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Jawa Tengah, pada 1978 silam. Pesantren Al Mukmin yang sempat dipimpin tokoh kelompok teror Jamaah Islamiyah, Abu Bakar Baasyir, dianggap sesuai dengan keinginan keluarga.
Salah satu adiknya, Amin Sabir, juga disekolahkan di sana. Namun, dia meninggal dunia saat mendaki Gunung Lawu pada 1985. Di tahun yang sama, Ali Gufron pergi menghilang tanpa jejak.
Jihad yang TertundaTerinspirasi pondok pesantren Al-Mukmin, Solo yang didirikan Abu Bakar Ba'asyir, Chozin mendirikan pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan agama ketimbang pendidikan umum.
"Kembali lagi ke persoalan tadi, kami sangat menginginkan bahwa generasi umat Islam itu betul-betul punya ilmu, bisa memahami dan mengetahui Islam sepenuhnya."
Dia mempersoalkan umat Islam yang hanya menjalankan ibadah tanpa mengikuti syariat secara sepenuhnya, seperti menutup aurat dan menjalankan hukum Islam.
Chozin mengaku terkendala dengan pemerintah yang tidak menerapkan hukum Islam.
"Tapi karena leluhur-leluhur kita sudah menentukan Indonesia itu tidak menerapkan dasar atau syariat Islam itu secara keseluruhan ya apa boleh buat."
"Saya pribadi itu karena keterpaksaan," kata dia ketika ditanyai soal pandangannya soal hukum Indonesia.
Karena itu, dia menginginkan umat muslim bisa "membangun kekuatan" mulai dari membangun pesantren. Ini adalah tahap awal, yang dia sebut dengan Tarbiyah, dalam mendirikan syariat Islam.
Soal jihad, yang kerap digunakan sebagai alasan aksi teror, menurut Chozin terbagi ke dalam dua bentuk, yakni lewat fisik dan lisan. Saat ini, kata dia, pesantren Al-Islam belum sanggup melaksanakan jihad dengan fisik.
 Pimpinan JI, Abu Bakar Baasyir saat berkunjung ke POnpes Al Islam, 2008, menjelang eksekusi trio bomber Bali. (AFP PHOTO / ADEK BERRY) |
Latihan ala MiliterMeski belum berniat untuk melakukan jihad secara fisik, di pesantren ini sempat berlangsung pelatihan a la militer. Para santri pecinta alam atau Sapala, demikian disebut oleh Al-Islam, melakukan pelatihan fisik seperti tentara di hutan-hutan.
"Ya, kalau saya mau jujur dulu itu pernah melakukan latihan-latihan biasa. Sapala. Ya ala-ala militer, pernah dilakukan," kata Chozin.
Hanya saja, kegiatan itu bersifat ekstra-kurikuler. Karena itu, setelah bom Bali, kegiatan itu dengan mudah dihentikan untuk menghindari pandangan negatif masyarakat.
Secara terpisah, Kharis Hadirin, alumni pesantren yang bergabung 2004 silam, mengatakan pelatihan itu adalah bentuk persiapan untuk berjihad. Jihad yang dianut Al-Islam, kata dia, adalah perang secara harfiah.
"Sehingga dalam praktiknya, aplikasi jihad, terutama di Al-Islam sendiri lebih mengarah pada kegiatan-kegiatan militerisasi yang dalam istilah kelompok jihadi disebut sebagai I'dad," ujarnya.
Kegiatan Sapala, menurutnya, sebenarnya tidak jauh berbeda dari pecinta alam lain. Hanya saja, tujuan dibentuknya organisasi ini adalah untuk melakukan latihan yang lebih leluasa, merujuk pada gerilya di hutan-hutan seperti yang dilakukan di Moro, atau Mindanao.
Pesantren, kala itu menolak disebut melakukan pelatihan militer karena ada dalil di Al-Quran untuk melakukan I'dad, kata Kharis.
Hal ini tidak ditampik maupun dibenarkan oleh Chozin.
Salah satu alumni Al-Islam, Wildan Mukhollad tewas di Suriah 2014 lalu. Menurut Chozin, pilihan Wildan tidak terkait langsung dengan pesantren.
Kepala Desa Tenggulun, Abdul Soleh, mengatakan kegiatan-kegiatan militer secara sembunyi-sembunyi sempat diadakan namun dihentikan setelah bom Bali.
Ketika diadakan latihan itu, masyarakat tidak pernah tahu. Latihan dilakukan di tempat-tempat sepi.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, di sekitar pesantren memang banyak tempat-tempat yang masih berupa hutan. Menurut Kharis, itu adalah salah satu lokasi latihan.
Setelah bom Bali, pesantren selalu memberi tahu ketika hendak melakukan kegiatan pelatihan di luar pondok. Kini, pelatihan dilaksanakan di tempat yang lebih terbuka seperti lapangan sepak bola, kata Abdul.
"Cuma ingin ngegelap (bergelap-gelapan). Saya tanya mengapa, ini latihan mental, katanya. Saya tidak tahu latihannya apa, tapi katanya tes mental," kata Abdul.
Latihan mental itu dilaksanakan pukul 23.00 hingga 3.00 setiap malam Jumat, sebulan sekali. Abdul juga mengatakan belakangan pesantren tidak memberi tahu jika para santrinya hendak latihan di hutan. Namun, dia menerima informasi dari warga sekitar bahwa kegiatan itu masih dilakukan.
"Seringnya jalan kaki. Sampai Tuban itu bisa jalan kaki. Kalau warga sini mana mau disuruh latihan seperti itu," ujarnya diikuti tawa.
 Muhamad Chozin. (CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Tak Terkait Bom Bali 2002Chozin menjelaskan Al Ikhas tak terkait dengan serangan bom Bali 2002. Alasannya, adik-adiknya yang menjadi pelaku teror tidak berada di rumah ketika pesantren didirikan.
"Saudara saya itu, Ali Gufron, Ali Imron, Ali Fauzi, itu mereka semua ada di luar. Yang ketika itu sudah terdeteksi, Ali Gufron dan Ali Imron ada di Afghanistan, kemudian Ali Fauzi di Filipina," ujarnya.
Diketahui, kepergian mereka adalah untuk berperang bersama militan di negara-negara itu.
"Jadi hanya saya, yang saya fokuskan untuk menangani ya di pesantren ini. Mereka banyak yang di luar, bahkan sampai struktur kepengurusannya tidak masuk," kata Chozin.
Chozin menyatakan baru mengetahui para saudaranya terlibat jaringan teror lewat media karena mereka sangat tertutup. Dia pun enggan menilai perbuatan para adiknya.
“Saya serahkan kepada Alllah.”