Jakarta, CNN Indonesia -- Ratusan antropolog menandatangani petisi mengenai kondisi darurat kebinekaan kepada pemerintah. Sebanyak 12 dari 300 antropolog yang menandatangani petisi, menyampaikan secara langsung petisi mereka kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka siang ini.
Yando Zakaria, salah seorang antropolog yang terlibat dalam petisi, mengatakan dalam sebulan terakhir dirinya bersama antropolog lain berembug untuk menindaklanjuti kerisauan mereka atas situasi bangsa yang dianggap semakin terancam dengan meningkatnya intoleransi.
"Situasi terakhir akibat institusi sosial yang seharusnya merawat kebinekaan tidak berfungsi dan ada gerakan yang memaksakan pandangan tertentu dan diinginkan menjadi pandangan dominan di negara ini," kata Yando di Kantor Presiden, Senin (16/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu, para antropolog menyampaikan intoleransi diduga berakar pada belum diimplementasikannya semangat keberagaman dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Para antropolog meminta Jokowi lebih berani mengambil langkah konkret dan menindak tegas intoleransi yang kerap terjadi di berbagai daerah Indonesia.
Merespons sikap dan pandangan para antropolog, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Teten Masduki mengatakan, Jokowi memastikan proses hukum terhadap pelaku intoleransi akan berproses dan ditegakkan.
"Memang ada pertimbangan politik yang saat ini dilihat masyarakat pemerintah tidak tegas, tapi tadi ditegaskan Presiden penegakan hukum harus dilakukan," kata Teten.
Wacana Uji Materi Pasal Penistaan AgamaYando berpendapat, pasal yang mengatur soal penistaan agama dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) perlu ditinjau ulang. Dari perspektif antropologi, pasal tersebut dinilai sangat berbahaya apabila dipolitisasi. Ia menekankan, agama merupakan persoalan iman masing-masing orang.
"Pasal penistaan adalah pasal yang sangat liar dan bisa digunakan siapa saja dalam konteks agama. Anda percaya, silakan. Anda tidak percaya juga urusan Anda," kata Yando.
Yando bersama antropolog lainnya berencana menyiapkan materi untuk mengajukan judicial review terhadap Pasal 156 huruf a dan b KUHP tentang Penistaan Agama kepada Mahkamah Konstitusi.
Mereka akan mempersiapkan kesaksian-kesaksian persoalan agama dari sudut pandang kehidupan sosial dan antropologi.
Penistaan agama disarankan dilihat dari pidana-pidana umum yang telah diatur, seperti pencemaran nama baik, fitnah, bahkan kriminalitas.
"Yang harus dilihat, penistaan itu multitafsir. Kalau sudah merusak, itu bukan penistaan tapi kriminal," ucapnya.
Yanto menegaskan semua pandangan dan saran yang disampaikan oleh para antropolog kepada Jokowi merupakan perspektif antropologi dan tidak terikat dengan kekuatan politik tertentu.