Jakarta, CNN Indonesia -- Maria Katarina Sumarsih berangkat dari rumahnya menuju Istana Negara, Jakarta Pusat. Di atas mobil yang mengantarnya dari kawasan Jakarta Barat, dia tengah mencari jalan alternatif menembus kemacetan ibu kota.
Kamis (19/1) sore ini, Sumarsih mengikuti Aksi Kamisan ke-476, sepuluh tahun aksi diam para korban pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Sumarsih adalah ibu korban Tragedi Semanggi I. Putranya, BR Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta yang tewas ditembak tentara saat demonstrasi memperjuangkan reformasi, 13 November 1998.
Sebagai keluarga korban sekaligus salah satu presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), kelompok yang selalu menggelar Aksi Kamisan, Sumarsih berusaha hadir tiap pekan. Hari ini aksi mengusung tema: penegakan hukum dan penyelesaian pelanggaran ham berat, sebuah nyali untuk hak asasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menilai pemerintahan Joko Widodo tidak memiliki arah, bahkan semakin lemah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Sumarsih masih ingat komitmen Jokowi, demi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat diperlukan keberanian dan terobosan, baik penyelesaian secara yudisial dan nonyudisial.
"Kami memandang Jokowi tidak punya nyali untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, karena mengangkat orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat untuk duduk di jabatan strategis pemerintahan," kata Sumarsih kepada CNNIndonesia.com.
Pilihan Jokowi untuk mengangkat Wiranto sebagai Menko Polhukam, mengusik harapan Sumarsih. Dia menilai Wiranto bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya penembakan mahasiswa dalam Tragedi Semanggi I yang menewaskan putranya.
Sumarsih makin kecewa ketika pemerintah berusaha membentuk Dewan Kerukunan Nasional, wacana yang digagas Wiranto. Dia menilai, pembentukan lembaga itu merupakan upaya pemerintah melepas tanggung jawabnya untuk mengadili para pelanggar HAM. Impunitas tengah dilanggengkan.
Dia menegaskan, kasus kejahatan terhadap kemanusiaan harus diselesaikan melalui proses hukum. Sedangkan Dewan Kerukunan dibentuk untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM secara musyawarah.
"Wiranto ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara musyawarah. Ini bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, bahwa Indonesia adalah negara hukum," katanya.
Di sisi lain, Wiranto pernah menyatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM mengalami banyak hambatan dan memerlukan proses yang panjang.
Dia menjelaskan, setelah melalui proses penyelidikan Komnas HAM, suatu kasus diajukan ke DPR untuk membuat Pansus dan dikaji lebih jauh lagi apakah memenuhi pelanggaran HAM berat. Dari sana baru diajukan ke presiden, kemudian ada keputusan untuk membuat pengadilan HAM adhoc.
Karena itu, Wiranto berpendapat, tidak semua masalah pidana harus dimasukkan dalam kategori pelanggaran HAM berat yang memiliki persyaratannya sangat khusus.
"Ada proses hukum yang harus kita jalani dan itu tidak mudah, apalagi masalah-masalah yang lalu. Cari saksi susah, cari bukti susah, kadang-kadang orang diminta jadi saksi juga tidak mau lagi," kata Wiranto.
Sumarsih berkomentar, penegakan hukum atas pelanggaran HAM berat mengalami proses yang panjang dan lama karena para pihak yang diduga terlibat masih menjabat di pemerintahan.
"Itu karena dia yang harus bertanggung jawab. Kalau dia memang gentle, kesatria yang bertanggung jawab, harusnya dia mau dipanggil Komnas HAM untuk memberikan keterangan terkait kasus pelanggaran HAM," katanya.
Perempuan beruban itu mengatakan, Wiranto tak pernah hadir dalam panggilan Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM terkait Tragedi Semanggi I dan II. Bahkan, keluarga korban sempat menyambangi rumah Wiranto untuk mengingatkan panggilan pemeriksaan tersebut, sang jenderal tetap tidak hadir.
 Sumarsih mengikuti Aksi Kamisan. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus) |
Kamisan PertamaSepuluh tahun lalu, 18 Januari 2007, Sumarsih dan para korban serta keluarganya juga berdiri di depan Istana Negara. Jumlahnya sekitar 40 orang. Atribut yang mereka kenakan tetap sama; payung hitam dan pakaian serba hitam.
"Ketika itu pada saat rapat kami sudah putuskan maskotnya adalah payung hitam, berbusana hitam, kami beli sendiri," kenang Sumarsih.
Sejak awal, para peserta aksi telah diberi pemahaman, aksi kamisan berjalan mandiri. Mereka datang dengan biaya sendiri, ada pula yang membawa bekal makanan dan minum. Titik kumpul sempat di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, lantaran beberapa peserta aksi enggan menunggu dengan ditongkrongi polisi dan tentara. Namun untuk menghindari hujan, mereka pindah kantor KontraS.
Sepanjang tahun, mereka tetap menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM. Meski presiden berganti, harapan atas keadilan tak pernah mati. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata Sumarsih, pernah menyatakan kasus Tragedi Semanggi I dan II harus diselesaikan melalui pengadilan HAM adhoc. Namun harapan itu menguap hingga kini.
Begitu pun dengan Presiden Jokowi yang beberapa kali menyatakan komitmennya dalam pidato kenegaraan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, menghapus impunitas. "Harapan selalu diberi," katanya.
Meski perjuangan masih jauh dari kata selesai, Sumarsih dan kawan-kawannya tak patah arang. Dukungan dan partisipasi dari kalangan pemuda memperkuat keyakinan para korban dan keluarganya akan keadilan.
"Aksi Kamisan sekarang ini yang datang anak muda. Tidak hanya di Jakarata, Bandung, Yogyakarta, Medan, Batam, Banten, Surabaya, Kerawang, Samarinda, dan kota lain," katanya.
Pada aksi hari ini, Museum Rekor Indonesia memberikan penghargaan kepada para korban yang secara konsisten menggelar aksi tanpa henti setiap Kamis sore. Aksi Kamisan tercatat sebagai aksi perjuangan membongkar paksa kebenaran, mencari keadilan, melawan lupa dan impunitas.