ANALISIS

ISIS dan Fenomena Radikalisme Keagamaan Kelas Menengah

Joko Panji Sasongko | CNN Indonesia
Rabu, 01 Feb 2017 15:23 WIB
Latar belakang pendidikan tinggi dengan penghasilan yang serba berkecukupan, tak menjamin seseorang bisa menolak 'pesona' radikalisme keagamaan.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Denny Aprianto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Belum lama ini masyarakat dikejutkan dengan informasi bergabungnya seorang mantan Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan, Triyono Utomo Abdul Sakti (40), dengan kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Kabar itu datang pasca Triyono ditangkap oleh otoritas keamanan Turki dan dideportasi ke Indonesia. Triyono ditangkap di sebuah kamp penampungan di Turki bersama Istri dan ketiga anaknya yang masih di bawah umur.

Dugaan bergabungnya Triyono memang bisa dibilang mengejutkan. Pasalnya, ia merupakan calon Kepala Sub Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak Non Sumber Daya Alam di Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu dengan pangkat terakhir IIIC.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain jabatan, Triyono juga merupakan orang yang berpendidikan. Kepolisian menyatakan Triyono adalah lulusan S2 dari Universitas Adelaide, Australia. Ia mendapatkan gelar masternya tersebut pada 2009.

Selain Triyono, sejumlah mahasiswa universitas ternama di Indonesia juga dikabarkan telibat ISIS. Hal itu berdasarkan hasil penyelidikan terhadap para terduga ISIS yang diringkus Detasemen Khusus 88 Antiteros Polri. Setidaknya ada lebih dari lima mahasiswa diduga kuat berusaha bergabung dengan ISIS.
Bergabungnya kalangan terpelajar yang bisa dibilang golongan kelas menengah merupakan hal baru di Indonesia. Dahulu, mayoritas para terduga atau terbukti ISIS berasal dari kalangan kelas bawah, yaitu mereka yang tinggal di pedesaan, miskin, dan bukan pegawai pemerintah.

Pengamat terorisme, Noor Huda Ismail menduga, bergabungnya kalangan kelas menangah di Indonesia kepada ISIS karena masalah spriritual personal yang tak terakomodasi. Mereka--termasuk Triyono--seolah perlu merasa menjadi orang Islam yang berbeda di tengah pandangan mereka terhadap tata nilai Islam saat ini.

Keresahan spiritual personal itu, kata Noor, dibarengi pula dengan hadirnya kelompok seperti ISIS yang berhasil melakukan propaganda kepada mereka yang labil akan kondisi spritualnya.

“Fenomena terpesonanya Triyono barangkali puncak gunung es radikalisme kelas menengah. Kagalauan individu ini kemudian terwadahi oleh kelompok yang berafilisasi secara ideologi seperti ISIS,” ujar Noor kepada CNNIndonesia.com, Selasa (31/1).
Lebih lanjut, Noor menuturkan, ada tiga pemahaman kunci untuk melihat fenomena bergabungnya kalangan kelas menengah ke ISIS. Pertama, kata dia, orang yang bergabung dalam kelompok kekerasan tidak terjadi secara tiba-tiba.

Noor menyebut, ada strata permasalahan tiap personal, seperti anak tangga, yang menjadi ciri khas bergabungnya individu dengan kelompok kekerasan.

Pada anak tangga terbawah pada umumnya diisi oleh orang-orang yang kecewa dengan situasi lingkungan tempat tinggalnya.

Naik pada tangga selanjutnya, orang-orang yang kecewa itu bertemu dengan suatu kelompok seperti ISIS yang bisa memberi jawaban atau harapan atas kekecewaannya. Pada tahap ini, titik balik kehidupan orang-orang tersebut dan peran perekrut ke dalam ISIS menjadi hal penting untuk dilihat.

“Sebelum era ISIS, perekrut itu harus ditemui secara langusng. Sekarang proses rekrutmen bisa dilakukan secara online atau daring,” ujarnya.

Pada pemahaman kedua, Noor berkata, rata-rata orang yang tergabung dalam jaringan kekerasan bukanlah orang yang mengalami gangguan jiwa atau psikopat. Menurutnya, mereka adalah orang normal yang memiliki cara pandang tersendiri terhadap agama dan merasa orang lain telah salah dalam menjalankan nilai-nilai agama.

Pada tahap itu, orang-orang tersebut perlahan akan mencari cara hidup baru, seperti menarik diri dari kehidupan biasa, mengubah sikap, atau cara berpikir.

“Di titik inilah keluarga terdekat, teman, atau guru hendaknya bisa segera melakukan intervensi dengan mendorong mereka untuk membuka diri dan merayakan perbedaan,” ujar Noor.

Pada pemahaman terakhir, Noor menegaskan, ISIS seharusnya tidak dipandang sebagai kelompok kekerasan saja sebagaimana yang dipublikasikan oleh media lokal maupun asing. ISIS seharusnya juga dipandang sebagai kelompok yang lihai dalam melakukan propaganda melalui media sosial.

Pasalnya, lanjut Noor, saat ini ISIS berhasil menjual tawaran alternatif hidup baru dalam naungan khilafah Islam melalui kesaksian nyata dari orang-orang yang berhasil dihijrahkan lewat medsos, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Telegram, hingga YouTube.

Noor menyebut, kesaksian yang dipublikasikan lewat medsos seolah menggambarkan ISIS memiliki wilayah, penduduk, bank, rumah sakit, dan bahkan janji mendapat gaji.

Mereka menutup rapat segala informasi perpecahan, sebagaimana disampaikan orang Indonesia yang keluar dari ISIS. Atau masalah internal lain seperti korupsi, perebutan wanita, dan lemahnya orang Indonesia di mata orang Arab.

“Ini adalah bentuk komunikasi yang sangat efektif untuk menggerakkan orang agar tertarik bergabung ISIS,” ujarnya.
Dari ketiga pemahaman itu, Noor merasa pergeseran profil orang yang direkrut oleh ISIS bukan hal yang mengherankan. Ia juga menilai, tiga pemahaman itu memberi pandangan baru bahwa ISIS saat ini tak lagi mengutamakan kuantitas, melainkan kualitas.

Perubahan pergeseran profil rekrutmen anggota ISIS juga didukung oleh data Kementerian Luar Negeri tahun 2016 yang menyebut, WNI yang dideportasi pemerintah Turki mempunyai latar belakang beragam, seperti pilot, ahli keuangan, ahli desain, ahli komputer, dokter, hingga perawat.

“Latar belakang profesional beragam dapat digunakan untuk membangun negara ala ISIS,” ujar Noor.

Maka, demikianlah fenomena terbaru dari gerakan radikalisme keagamaan. Hari ini, doktrin radikal ternyata juga bisa menarik bagi kalangan kelas menengah terdidik yang serba kecukupan seperti tercermin dari kasus Triyono. 

Fenomena Triyono yang bergabung dengan kelompok radikal ISIS, sekaligus mematahkan pandangan mainstream yang selama ini menganggap doktrin radikal hanya laku di kalangan orang-orang berpendidikan rendah dengan tingkat ekonomi yang pas-pasan. (wis/yul)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER