Rekonsiliasi Kasus HAM Masa Lalu Dinilai Bias Politik

Wishnugroho Akbar | CNN Indonesia
Jumat, 03 Feb 2017 02:19 WIB
SETARA menilai keputusan itu bias politik karena Menkopolhukam Wiranto, saat terjadi kasus HAM Trisakti, Semanggi I dan II, merupakan pemegang komando atas TNI.
Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Herman Dewantoro)
Jakarta, CNN Indonesia -- SETARA Institute mengkritik kesepakatan antara Kemenko Polhukam dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang memilih proses cara rekonsiliasi (nonyudisial) dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II.

Direktur Riset SETARA Institute Ismail Hasani menyebut kesepakatan 
pragmatis dan bias politik. Pasalnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Wiranto pada periode terjadinya peristiwa pelanggaran HAM adalah pemegang komando atas TNI dan Polri.

Dengan jabatannya itu, Ismail melanjutkan, Wiranto semestinya termasuk pihak yang harus dimintai keterangan dan pertanggungjawaban.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sehingga secara moral dan politis, Wiranto tidak memiliki legitimasi untuk memutus pilihan penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II," kata Ismail dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (2/2).
Ismail juga mengkritik Komnas HAM sebagai pihak yang ikut menyepakati cara-cara non yudisial dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. "Pilihan ini menggambarkan kelemahan serius Komnas HAM, sebagai institusi yang memiliki kewenangan penyelidikan."

Komnas HAM sebenarnya telah menyelesaikan penyelidikan dan menyimpulkan ada dugaan pelanggaran HAM pada kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, berdasarkan bukti yang cukup.

Sementara dalam konstruksi UU 26/2000, mekanisme nonyudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM hanya dibenarkan jika secara teknis hukum, sulit diperoleh bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di pengadilan HAM.
Ismail mengatakan, untuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, bukti-bukti yang berserak dan telah dihimpun oleh Komnas HAM sendiri. Pun, saksi-saksi peristiwa juga masih sangat mungkin dimintai keterangan. Bahkan ada yang kini menjadi pejabat negara.

Atas dasar itu, SETARA menilai pilihan nonyudisial sebagai langkah keliru dan melawan keadilan publik. "Komnas HAM periode ini secara terbuka melemahkan dan mengingkari produk kerja komisioner sebelumnya," kata Ismail.

SETARA Institute mendesak Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas, sebagaimana dijanjikan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019 yang mengamanatkan penyelesaian pelanggaran HAM dilakukan setelah ada pengungkapan kebenaran terlebih dahulu oleh suatu komite khusus.

"Jokowi jangan lengah dengan manuver sejumlah pihak yang menghendaki penyelesaian pelanggaran HAM bertolak belakang dengan janji Jokowi. Karena itu, Jokowi mesti merealisasikan komitmennya dengan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran dan Keadilan," ujar Ismail.
(wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER