Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu menagih janji Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan masalah yang hingga kini tak kunjung selesai.
Hal itu dipaparkan sejumlah keluarga korban yang mengungkapkan keresahan mereka.
Dalam jumpa pers itu, hadir keluarga korban macam Payan Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan, korban penculikan 1997-1998; Sumarsih, ibu dari BM Norma Irmawan korban tragedi semanggi I tahun 1998; serta Maria Sanu, ibu dari Stepahanus Sanu, korban tragedi kerusuhan di Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka sama-sama mengingatkan agar Presiden memenuhi hak-hak korban dalam pelanggaran HAM masa lalu.
“Selama 18 tahun, kasus Mei tidak ada penyelesaiannya" kata Maria dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (9/12). “Selain duka, stigma sebagai pelaku pencurian masih melekat sampai saat ini.”
Dia menegaskan dengan adanya pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat, akan menghapuskan penilaian negatif masyarakat terhadap anaknya.
Keluarga korban pun meminta kejelasan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan perhatian agar penyelesaian kasus tersebut dilakukan.
Tak Pernah DidengarKepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ferry Kurnia menyatakan keluarga korban tidak pernah didengar dan tak pernah diajak bicara.
Dia mengatakan setiap Kamis, keluarga korban menggelar acara Kamisan di depan Istana Kepresidenan untuk menyampaikan tuntutannya.
“Keluarga korban menyampaikan tuntutannya kepada Presiden tapi Presiden tidak pernah hadir, tidak pernah datang dan tidak pernah mendengar,” kata Ferry.
Dia menegaskan tak ada langkah konkrit dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM selama 2 tahun terakhir. Kontras menyatakan konsep penyelesaian penuntasan kasus HAM masa lalu oleh Presiden hingga kini masih ditunggu keluarga korban.
Dalam catatan KontraS, terdapat tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang kasusnya mandek di Kejaksaan Agung untuk diproses pada tahap penyidikan.
Tiga berkas di antaranya Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Paksa 1997/1998, dan Talangsari 1989, KontraS menemukan ada praktik bolak-balik berkas dari penyidik Kejaksaan Agung kepada penyelidik Komnas HAM.
Praktik bolak-balik berkas di antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengakibatkan peniadaan hak konstitusi korban pelanggaran HAM. Dalam konteks ini, Yati menilai negara sudah melakukan tindakan pelanggaran hak konstitusional karena memberikan ketidakpastian hukum bagi warga negaranya.
(asa)