Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta pendapat hukum Mahkamah Agung ihwal pengaktifan kembali Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Permintaan itu harus disampaikan melalui surat karena Tjahjo batal bertemu pimpinan MA, Selasa (14/2) pagi.
Tjahjo menyebut silang pendapat di balik pengaktifan Basuki atau Ahok menjadi orang nomor satu di Jakarta sebagai hal wajar. Namun ia berkukuh, keputusannya untuk tidak memberhentikan Ahok secara sementara waktu, tepat.
"Kami menghargai pendapat anggota DPR dan para pakar hukum yang berpendapat lain atau sama dengan pendapat Kemendagri," kata Tjahjo dalam pesan tertulis.
Kemdagri belum menonaktifkan Ahok karena masih menunggu tuntutan jaksa penunut umum dalam kasus dugaan penistaan agama. Menurut Tjahjo, Ahok belum dapat diberhentikan sementara karena didakwa dua pasal berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ahok didakwa melanggar pasal 156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 156 mengatur ancaman hukuman penjara paling lama empat tahun. Ancaman hukuman itu belum memenuhi syarat penonaktifan yang diatur dalam Pasal 83 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Sementara itu, pasal 156a KUHP memuat ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun.
"Saya tetap berpegang pada aturan yang ada. Kalau tuntutannya di atas lima tahun, pasti saya akan berhentikan sementara," ujar Tjahjo.
Sebelum ke MA, Kemdagri terlebih dulu menginventarisasi persoalan penonaktifan Ahok, seperti penandatanganan surat pemberhentian kepala daerah karena status terdakwa maupun kasus yang menggunakan dakwaan alternatif.
"Karena berbagai pendapat muncul, sebagaimana arahan Bapak Presiden dimintakan pendapat hukum dari MA," tuturnya.
Keputusan Tjahjo kemarin mendapatkan reaksi dari empat fraksi di DPR, yakni Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Mereka mengajukan usulan penggunaan hak angket kepada pimpinan DPR untuk menyelidiki dugaan pelanggaran
beleid yang dilakukan Tjahjo.