Jakarta, CNN Indonesia -- Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyebut keputusan Pengadilan Tipikor Jakarta melarang siaran langsung sidang perdana kasus korupsi e-KTP tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Dia khawatir, pelarangan sidang ini sebagai upaya untuk menutup-nutupi fakta persidangan dari masyarakat.
"Ditutupi sehingga sidang tidak berjalan dengan fair dan cenderung mengesampingkan rasa keadilan faktanya kan kasus ini menyeret sederet nama politikus besar, bukan tidak mungkin ada sebuah upaya menutup-nutupi," kata Ketua IJTI Yadi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (9/3).
Yadi menilai pelarangan pengadilan Tipikor tersebut membatasi hak publik mendapatkan informasi. Kasus yang diduga merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah itu disebut perlu diketahui masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada beberapa bagian sidang yang seharusnya bisa disiarakan secara langsung, yaitu pledoi, esepsi, dakwaan, pembacaan, dan vonis," kata
Yadi mengatakan, pelarangan itu juga melanggar hak yang dimiliki media massa sebagaimana diatur UU 40/1999. "Pers itu dilindungi undang-undang, tidak bisa dilarang-larang secara sepihak," kata dia.
Sementara itu, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Agung Suprio mengancam menempuh jalur hukum jika Pengadilan Tipikor Jakarta tidak mencabut larangan siaran langsung sidang kasus e-KTP.
Agung berkata, KPI telah satu suara dengan Dewan Pers, IJTI, Aliansi Jurnalis Independen, dan Persatuan Wartawan Indonesia terkait rencana upaya hukum tersebut.
"Ini bukan Orde Baru. Kami akan tunggu dan lihat setelah pernyataan bersama ini, majelis hakim akan mengubah keputusan atau tidak," tuturnya.
Larangan siaran langsung sidang e-KTP diatur dalam Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas 1A Khusus Nomor W10U1/KP01.1.17505/XI201601 tentang larangan peliputan atau penyiaran persidangan secara langsung oleh media televisi di lingkungan PN Jakarta Pusat.
Pengadilan Tipikor Jakarta berada satu gedung yang sama dengan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Pengadilan mengambil sikap untuk mengembalikan pada marwah sidang yang terbuka untuk umum," ujar Humas PN Jakarta Pusat Yohanes Priyana, kemarin.
(abm/obs)