Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah alumni dan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) menyatakan, menolak kehadiran Badan Keahlian DPR untuk melakukan sosialisasi dan seminar revisi UU 30/2002 tentang KPK. Rektor USU diminta mendukung langkah mahasiswa dan alumni menolak BKD DPR melakukan sosialisasi RUU KPK di USU pada 17 Maret 2017.
Mereka menilai, revisi UU tersebut merupakan upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Alumni Fakultas Hukum USU Kurnia Ramadhana mengatakan, penolakan terhadap sosialisasi BKD DPR di USU merupakan bentuk komitmen antikorupsi.
"Kami meminta seluruh civitas akademik di USU meolak sosialisasi, Jika tetap berlangsung, komitmen antikorupsi di USU sudah hilang dan dikenang sebagai kampus pelemahan KPK," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis, Minggu (12/3).
Kurnia mengatakan, perguruan tinggi seharusnya menjadi garda terdepan untuk memperkuat, bukan memberi fasilitas bagi DPR untuk melemahkan KPK. Perguruan tinggi harus bisa menilai dan menimbang segala langkah pelemahan pemberantasan korupsi yang dilakukan DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Kurnia berkata, penolakan juga terkait kesepakatan 160 Guru Besar dari berbagai universitas, temasuk USU yang menolak revisi UU KPK pada Februri 2016. Tak hanya itu, kerja sama dalam bentuk Nota Kesepahaman antara KPK dengan 82 universitas juga menjadi bukti bahwa perguruan tinggi merupakan mitra penting pemberantasan korupsi.
"Tentu ini mengartikan bahwa seharusnya Perguruan Tinggi ada dibarisan terdepan untuk memperkuat basis gerakan antikorupsi di Indonesia," ujarnya.
Selain soal posisi perguruan tinggi, keberadaan revisi UU KPK yang tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2017 juga menjadi alasan menolak kehadiran BKD DPR ke USU. Kurnia menilai, langkah BKD DPR melakukan sosialisasi ke sejumlah universitas kental akan kepentingan politik di tengah sejumlah peristiwa korupsi yang terjadi.
Ia menyampaikan, Survei Indikator Politik Indonesia yang dilansir 8 Februari 2016 menyebut, 54 persen responden menilai revisi UU KPK bersifat melemahkan dan 34,1 persen menilai sebaliknya. Survei ICW pda November 2015 menyatakan, hanya 43 persen yang mengetahui isu dalam revisi UU KPK dan 79 persen dari mereka menilai revisi UU itu bersifat melemahkan.
"Banyak pihak mencurigai dan mempertanyakan langkah DPR mengadakan seminar tentang RUU KPK sementara rencana Revisi UU KPK tidak masuk dalam daftar Prolegnas," ujar Kurnia.
Fokus Tunggakan LegislasiKurnia menyampaikan, DPR seharusnya fokus menyelesaikan tunggakan sejumlah RUU yang mangkrak. Ia khawatir, publik memiliki pandangan negatif terhadap DPR jika permasalahan tersebuti tidak segera teratasi.
Ia berkata, per-November 2016 DPR hanya mampu mengesahkan tujuh RUU dari 50 target RUU yang ada di Prolegnas. Sementara tahun ini, belum ada satu pun RUU yang disahkan dari 49 RUU yang masuk ke dalam Prolegnas.
"DPR seharusnya beralih untuk menyelesaikan tunggakan legislasi yang masih menumpuk," ujar Kurnia.
Lebih dari itu, ia juga mendesak, DPR segera membahas isu RUU tentang Pemberantasan Korupsi. Ia menilai, isu itu lebih mendesak lantaran ada beberapa jenis tipikor dari
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang tidak masuk ke dalam UU Tipikor, seperti
trading in influence atau memperdagangkan pengaruh dan
illicit enrichment atau kekayaan yang diperoleh secara tidak sah.
"Ada baiknya DPR saat ini membahas isu soal revisi UU Tipikor di banding harus sibuk dengan persoalan revisi UU KPK yang dianggap tidak perlu. Korupsi bukan lagi sebuah kejahatan yang biasa, dalam perkembangannya korupsi telah terjadi secara sistematis dan meluas," ujarnya.
Berdasarkan penelusuran, BKD telah melakukan sosialisasi draf revisi UU KPK ke sejumlah perguruan tinggi, antara lain Universitas Andalas dan Universitas Nasional. BKD juga berencana menggelar sosialisasi serupa di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, satu atau dua pekan mendatang.
(rdk)