Jakarta, CNN Indonesia -- Kopi di gelas masih panas saat Muhadi mengaso di satu warung tegal kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur pada Senin lalu. Sesekali dia mengecek ponsel, menunggu penumpang yang tak kunjung datang. Seharian, sopir taksi daring itu baru mengantar satu orang, dari Tangerang ke Cakung.
Tiba-tiba mobil derek milik Dinas Perhubungan berhenti di depan mobil Muhadi yang diparkir di bahu jalan. Pria 47 tahun itu kaget. Pikirannya buyar membayangkan mobilnya bakal diderek.
Tiga orang petugas Dishub turun dari mobil. Muhadi segera menghampiri. Tanpa penjelasan, petugas langsung mengunci ban bagian depan, mobil dikerek dan siap diderek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mobil Bapak mau kami bawa ke kantor," kata salah seorang petugas berseragam Suku Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta Timur (Sudinhubtrans), kepada sopir itu.
Muhadi sempat tak terima perlakuan petugas. Dia meminta penjelasan soal kesalahan yang dituduhkan. Alih-alih menjelaskan, petugas malah mendesaknya agar menyelesaikan persoalan di kantor yang berjarak 5 kilometer.
Tak punya pilihan lain, Muhadi akhirnya mengikuti kemauan petugas. Dia menumpang mobil yang diderek. Sorot mata para pengguna jalan tertuju padanya.
Sepanjang perjalanan, perantau asal Jawa Timur itu jengkel. Dia merasa apes lantaran menurutnya, mobil yang dia parkir tak mengganggu arus lalu lintas setempat. Ibarat nasi telah jadi bubur, Muhadi hanya bisa pasrah. Dia bertekad mengikuti prosedur aturan yang berlaku.
Mobil kemudian dikandangkan di tempat penampungan kendaraan, kantor Sudinhubtrans Jakarta Timur yang berada di Terminal Rawamangun. Setibanya di sana, Muhadi masih tak mendapat penjelasan. Dia hanya diberi selembar brosur.
"Ini bapak baca dulu," kata seorang pegawai Sudinhubtrans Jaktim, sambil menyodorkan brosur berjudul ‘Parkir Sembarangan’.
Dalam brosur itu tertulis: kendaraan akan diderek dan dikenakan biaya retribusi penderekan dan penyimpanan sebesar Rp500 ribu per hari/kendaraan, plus Rp5 ribu biaya administrasi bank.
 Ilustrasi petugas Dishub DKI Jakarta melakukan penderekan mobil yang diduga parkir liar. ( ANTARA FOTO/David Muharmansyah) |
Peraturan tersebut sudah berlaku sejak 2014, saat Joko Widodo masih menjabat gubernur DKI Jakarta. Kebijakan itu diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi. Peraturan lainnya yaitu Perda Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2012 Terkait Retribusi Daerah.
Para pelanggar dapat membayar denda parkir liar melalui anjungan tunai mandiri (ATM) Bank DKI, rekening penampungan retribusi daerah. Setiap harinya uang tersebut dipindahkan ke rekening kas daerah Pemerintah Provinsi DKI.
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang kala itu menjabat wakil gubernur DKI Jakarta menyampaikan, sistem pembayaran denda melalui rekening merupakan upaya pemerintah untuk meminimalisasi para pihak yang mencari keuntungan.
Muhadi segera membayar retribusi hari itu juga, agar dendanya tidak berlipat ganda apabila pembayarannya ditunda besok. Petugas mencatatkan nomor
virtual account di balik brosur, sebagai kode transaksi pembayaran di ATM.
Usai melakukan pembayaran, pemilik kendaraan diminta mendatangi kantor Dinas Perhubungan dan Transportasi Provinsi DKI Jakarta, di Jalan Taman Jatibaru, Jakarta Pusat.
Di sana petugas akan memverifikasi bukti pembayaran melalui Cash Management System (CMS) Bank DKI. Setelah itu, petugas akan menyerahkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) dan Surat Pengeluaran Kendaraan (SPK).
"Harus ada surat keterangan (SPK) dari Jatibaru. Tanpa surat itu, mobil tidak bisa keluar," kata Kepala Suku Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta Timur Mohamad Soleh saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon.
 Ilustrasi Operasi Tangkap Tangan praktik pungli. ( CNN Indonesia/Djonet Sugiarto) |
Dugaan PungliMuhadi mengalami kendala lain.
Batas waktu verifikasi di kantor Dishub, Jatibaru, hanya sampai pukul 17.00 WIB. Dia tak punya cukup waktu untuk pergi ke sana, karena hanya tersisa 15 menit. Sementara dia ingin mobilnya diambil hari itu juga lantaran untuk bekerja.
Hal ini membuat salah seorang petugas berkaus hitam, mendatanginya dan mengusulkan agar Muhadi menggunakan jasa ojek setempat untuk mengurus SPK di Jatibaru. Dia menunjuk seorang pengemudi ojek yang berada di pelataran terminal.
Pengemudi itu akhirnya menawarkan ongkos pengambilan SPK sebesar Rp120 ribu dan menjamin mobil Muhadi bisa dibawa pulang sore itu juga. Negosiasi sempat terjadi, tapi pengemudi ojek itu berkukuh tak mau menurunkan harga. "Kami enggak sendiri soalnya," ujarnya.
"Besok saya ambil SPK karena sekarang sudah enggak keburu waktunya mepet. Tapi mobil bisa keluar sekarang," kata dia berusaha meyakinkan Muhadi.
Muhadi curiga, mobil bisa dibawa pulang padahal SPK dari Jatibaru belum ada. Dia menduga ini hanya permainan oknum petugas Dishub untuk mencari untung di sela keapesannya. Merasa dipermainkan, dia tinggalkan pengemudi ojek itu.
CNNIndonesia.com menyaksikan dugaan praktik tersebut saat menemani Muhadi--yang juga memiliki hubungan kekerabatan.
Selama mobilnya ditahan, Muhadi tak pernah dipanggil ke kantor untuk diperiksa data diri maupun kronologinya.
Namun, pengalaman serupa terjadi lagi pada hari itu. Seorang berpakaian sipil memanggil Muhadi dari bawah pohon. Dia pun menawarkan jasa pengambilan SPK.
Di posisi lain, sejumlah petugas berseragam Dishub berusaha mengadang di pelataran parkir. Mereka mengatakan, kalau mau mengurus mobil tidak perlu ke kantor, sebab para petugas di kantor sudah pulang.
"Di sini saja mengurusnya, sama kami-kami ini. Sudah enggak ada orang di dalam," kata petugas itu dengan nada meninggi.
Langsung DiantarTak menghiraukan ucapan mereka, Muhadi dan kerabatnya mencari ruangan bagian pengendalian dan operasional. Annisa Aditya, seorang petugas yang berjaga di ruangan itu menerimanya. Tanpa panjang lebar, dia langsung meminta bukti transfer pembayaran, fotokopi KTP dan STNK.
Muhadi lalu diantar menuju mobilnya yang ditahan di area parkir. Annisa mengatakan, pihaknya tak ingin mempersulit pemilik kendaraan jika ternyata denda sudah dibayar. Dia menyerahkan dokumen kendaraan kepada petugas lainnya dan meminta membuka kunci yang menempel di ban.
"Pak, tolong mobil ini dibuka kuncinya," kata Annisa. Setelah itu dia pun kembali ke ruangan.
Namun petugas pria itu justru menggiring Muhadi ke bawah pohon, bukan ke arah mobil. Dia mengatakan, mobil tetap tidak bisa keluar hari ini lantaran belum ada SPK. Kecuali kalau pemilik kendaraan menitipkan kepada petugas mengurusi pengambilan SPK. Biayanya sesuai yang ditentukan sebelumnya, yaitu Rp120 ribu.
Saat itu, pengemudi ojek itu ikut mendengarkan pembicaraan dari jarak dekat.
"Mobil tetap enggak bisa keluar hari ini. Kan tadi saya bilang, harus ke saya dulu, enggak bisa langsung ke sana (kantor)," katanya sedikit mengancam.
Muhadi tak bersedia memberikan uang sepeser pun kepadanya. Dia menduga praktik itu sebagai pungutan liar.
Survei Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparency International Indonesia menunjukkan, 65 persen masyarakat Indonesia menganggap praktik korupsi meningkat dalam satu tahun belakangan.
DPR menempati peringkat pertama sebagai lembaga terkorup, disusul birokrasi pemerintah dan DPRD. Dalam survei sebelumnya, Polri dianggap sebagai pihak yang paling korup dibandingkan DPR.
Pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) dinilai sebagai inovasi untuk bersama-sama, antara pemerintah dan masyarakat, memberantas korupsi. Satgas yang dipimpin Irwasum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno ini selain memberi tekanan pada level teknis seperti OTT, tetapi juga memantik kesadaran antikorupsi pada setiap aparatur birokrasi.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2016 meraih skor 37 dari rentang 0-100. Indonesia menduduki peringkat 90 dari 176 negara. Meski skornya naik satu poin dibanding tahun sebelumnya, namun IPK Indonesia turun dua peringkat dibanding 2015 yang menempati urutan 88 dari 168 negara.
 Ilustrasi praktik pungli yang terbongkar Operasi Tangkap Tangan. ( CNN Indonesia/Djonet Sugiarto) |
Saat dikonfirmasi mengenai dugaan pungli, Kepala Suku Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta Timur Mohamad Soleh mengaku tidak mengetahui dugaan praktik pungli yang dilakukan sejumlah oknum petugas yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Selaku pimpinan, dia belum menerima laporan soal praktik gelap itu. "Saya belum tahu. Sejauh ini belum ada laporan (pungli), alhamdulillah belum ada," kata Soleh.
Namun dia memastikan akan menindak tegas oknum yang diduga melakukan pungli. Soleh mengatakan, apabila ada oknum pegawai yang terbukti melakukan pungli akan diproses sesuai peraturan disiplin pegawai negeri. Namun jika oknum yang melakukan adalah pegawai harian lepas, pihaknya tidak segan untuk memutus kontrak kerja atau pemecatan.
"Pasti dia kami tindak, karena itu instruksi presiden dan kepala dinas perhubungan, kami dilarang melakukan pungli," tegasnya.
Sektor Publik RawanDi tempat terpisah, Wakil Ketua Pelaksana Satgas Saber Pungli Sri Wahyuningsih mengatakan, pungutan di luar retribusi yang diatur Perda termasuk kategori pungli.
"Itu bisa dikategorikan pungli. Pungutan di luar aturan (perda) itu pungli, aturannya sudah jelas," kata Sri saat dihubungi.
Dia menjelaskan, praktik pungli paling rawan terjadi pada sektor pelayanan publik. Namun terkadang, kata Sri, pungli tidak hanya dilakukan secara sepihak, tapi karena keinginan kedua belah pihak.
"Kadang masyarakat maunya cepat biar urusannya segera terselesaikan, kadang mau sama mau, kadang terjadi seperti itu, tidak sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Perda," ujarnya.
Pemberantasan pungli merupakan salah satu langkah pemerintah dalam rangka reformasi hukum di Indonesia. Di bawah koordinasi Kemenko Polhukam, pemberantasan pungli masuk dalam rumusan paket kebijakan reformasi hukum tahap pertama.
Menko Polhukam Wiranto mengklaim keberhasilan pemerintah dalam melakukan pemberantasan pungli. Dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi pada Kamis (9/3) lalu, Wiranto mengatakan, masyarakat aktif melaporkan praktik pungli kepada Satgas Saber Pungli yang dibentuk kementeriannya.
"Sekarang laporan (pungli) sudah lebih dari 23 ribu, berbagai cara untuk melapor, operasi tangkap tangan sudah 80-an sekian," kata Wiranto.
Meski pemerintah gencar mengupayakan pemberantasan pungli, namun praktik gelap itu tetap terjadi di tengah masyarakat. Prosedur yang berbelit dan birokrasi yang kompleks menjadi celah para oknum melakukan praktik pungli.