Jakarta, CNN Indonesia -- Para aktivis International People's Tribunal '65 (IPT 65) mengkritik sikap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang dinilai enggan menindaklanjuti temuan berbagai kuburan massal para korban pelanggaran HAM 1965 padahal hingga kini jumlah titik kuburan yang ditemukan semakin banyak.
Salah satu aktivis IPT 65 Hary Wibowo mengatakan bahwa per 2 Mei 2016 yang lalu jumlah lokasi kuburan massal yang ditemukan berjumlah 120 titik, dan 10 bulan berlalu dipastikan jumlah itu terus bertambah.
"Video yang tadi kita saksikan adalah data baru, dan masih terus mengalir. Ini adalah titik ya, jadi di satu lokasi bisa ada beberapa titik," kata Hary saat ditemui di gedung Komnas Perempuan, Ahad (19/3).
Sebelum memberikan paparan para aktivis memutarkan sebuah video yang memperlihatkan kesaksian orang-orang yang mengaku ikut membunuh serta membuang mayat-mayat yang diperkirakan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu yang dipertontonkan adalah kesaksian lelaki asal Surakarta yang dipekerjakan oleh militer untuk membantu membuang mayat di dekat Sungai Bengawan Solo.
Tak hanya itu, di sejumlah kawasan di Nusat Tenggara Timur pun ditemukan banyak kuburan massal yang menimbun banyak jenazah korban pembantaian pada peristiwa 1965. Di Alor misalnya, masyarakat mengetahui ada kuburan massal yang dinamakan "kuburan PKI" di sana.
Jumlah jenazah yang ada dalam lubang-lubang di sana pun bermacam-macam mulai dari hanya sembilan orang hingga ada yang mencapai 150 orang. Alor pun menjadi salah satu wilayah "luar biasa" untuk urusan itu.
Fakta-fakta terbaru itu, kata Hary membuktikan bahwa kuburan massal bagi para korban pelanggaran HAM 65 akan terus bertambah dan aktivis IPT 65 akan terus mencari sampai mendapat perlakuan layak dari pemerintah, khususnya Komnas HAM.
Namun Hary mengatakan pihaknya tak bisa membuka secara jelas di mana lokasi-lokasi kuburan massal tersebut karena menurutnya sama sekali tak ada jaminan dari Komnas HAM soal itu. Menurut Hary, IPT 65 selama melakukan pencarian tak hanya menemukan saksi korban melainkan juga saksi pelaku.
Namun keengganan Komnas HAM mengeksekusi itu semua semakin membuat IPT 65 geram. Data-data baru yang diberikan pun sama sekali tak dimasukkan ke berkas penyelidikan padahal itu bisa dijadikan alat untuk mengusut tuntas kasus kejahatan HAM masa lalu tersebut.
"Persoalannya adalah Komnas HAM tak bersedia melakukan penyelidikan lanjutan," ujarnya.