Jakarta, CNN Indonesia -- Nama penyanyi Syahrini mendadak muncul dalam sidang kasus dugaan suap pajak di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 20 Maret lalu. Nama selebritis itu tercantum dalam nota dinas pemberitahuan jumlah pajak kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan yang ditunjukkan jaksa penuntut umum di muka persidangan.
Tak hanya Syahrini, Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah serta pengacara Eggi Sudjana turut disebut oleh jaksa sebagai salah satu wajib pajak yang diduga menyalahgunakan pajak.
Nama mereka muncul saat jaksa menunjukkan percakapan whatsapp antara Kasubdit Bukti Permulaan Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Handang Soekarno dengan ajudan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiesteadi, Andreas Setiawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Handang telah menjadi tersangka usai terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada November 2016. Ia diduga menerima suap Rp1,9 miliar terkait pengurusan pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia.
Handang maupun Andreas yang saat itu menjadi saksi bagi terdakwa Ramapanicker Rajamohanan Nair di persidangan, membenarkan keberadaan bukti nota dinas maupun percakapan tersebut. Namun keduanya menolak menjelaskan lebih lanjut di muka persidangan.
Belakangan Handang membantah dugaan penyalahgunaan pajak atas nama-nama tersebut. Menurutnya, nama-nama yang disebutkan oleh jaksa justru menjadi contoh patuh wajib pajak saat Ditjen Pajak melakukan program pengampunan pajak atau
tax amnesty. Sebagai salah satu tim pemantauan evaluasi program
tax amnesty saat itu, Handang mengaku berwenang mengurus dokumen tersebut.
Padahal dari penjelasan jaksa, keberadaan nota dinas itu justru menunjukkan indikasi tindak pidana perpajakan. Selain nama-nama tersebut, jaksa juga menemukan 16 nama perusahaan dalam surat bukti permulaan penyalahgunaan pajak yang berada di dalam tas Handang saat penggeledahan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sebelumnya mengaku belum mengetahui dugaan pelanggaran yang dilakukan Handang terkait munculnya nama-nama tersebut. Dia menyatakan keberadaan surat dalam tas itu terjadi karena Handang memang berwenang mengurus dokumen tersebut.
“Bisa jadi mereka bantu dalam rangka
tax amnesty. Kalau hanya sebatas konsultasi tanpa pungut bayaran ya silakan, walaupun secara kode etik sebenarnya enggak boleh pegawai merangkap konsultan. Misal wajib pajak mau nanya gimana pengurusan
tax amnesty, dokumen apa yang disiapkan, itu boleh,” ujar Alexander di gedung KPK, kemarin.
Namun rupanya tugas itu tak menjadi kewenangan Handang. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, secara formal konsultasi tentang pengurusan tax amnesty menjadi kewenangan
account representative di Ditjen Pajak.
Sementara jabatan Handang sebagai Kasubdit Bukti Permulaan Penegakan Hukum, menurut Yustinus, sama seperti penyelidik di kepolisian. Handang berwenang mengidentifikasi apakah wajib pajak terbukti melakukan tindak pidana pajak atau tidak. Jika terbukti maka dilanjutkan dengan penyidikan, namun jika terbukti kemudian membayar tunggakan pajaknya maka proses tersebut akan dihentikan.
“Itu memang kewenangannya besar sekali karena menjadi penentu apakah seseorang melakukan tindak pidana pajak atau tidak. Tapi kalau merangkap konsultan itu tidak boleh karena sudah ada account representative yang bertugas membimbing,” kata Yustinus kepada CNNIndonesia.com.
Yustinus menjelaskan penyidik mesti mengusut sumber nota dinas tersebut. Sebab sebagai pejabat yang bertugas di kantor pusat Ditjen Pajak, Handang bisa memperoleh informasi tersebut dari mana saja. Termasuk melalui Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP) Ditjen Pajak yang bisa menjadi sumber untuk mengetahui ada atau tidak bukti permulaan tindak pidana pajak.
“Ini yang harus dipastikan, sumber surat itu dari mana. Datanya resmi atau tidak. Setelah nama-nama itu muncul lalu dugaannya apa. Kalau memang terbukti pidana pajak, mau diapakan (sama Handang). Mencari indikasinya kan di situ,” tutur Yustinus.
Adapun bantahan Handang yang menyebutkan tiga sosok tersebut sebagai contoh dari program pengampunan pajak atau tax amnesty, dianggap Yustinus tak masuk akal. Ia melihat ada sentralisasi kewenangan yang tidak mengikuti
Standard Operation Procedure (SOP) dalam penunjukkan nama-nama sebagai contoh patuh wajib pajak. Yustinus mengatakan, Ditjen Pajak mestinya memiliki alasan kuat di balik pemilihan nama tersebut.
“Mungkin saat itu memang ada tim pengawasan
tax amnesty. Tapi saya rasa itu terlalu jauh kewenangannya, saya juga tidak pernah dengar ada program penunjukan contoh patuh wajib pajak seperti itu,” ucap dia.
Pengawasan
tax amnesty saat itu, kata Yustinus, telah melalui pembentukan tim 100 oleh Dirjen Pajak. Tim ini khusus menangani para wajib pajak ‘kelas kakap’ untuk mendampingi maupun membantu jika ada kendala saat program
tax amnesty.
Yustinus mengatakan penyidik mesti mengkonfirmasi kepada Dirjen Pajak untuk membuktikan kebenaran nama-nama yang disebut Handang sebagai contoh patuh wajib pajak.
“Pasti Pak Dirjen mengetahui inilah. Tanyakan ada enggak program (penunjukkan contoh) itu. Dari situ kan akan terbaca teka-teki
puzzle-nya,” ujar Yustinus.
Sementara Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menyatakan, masih mendalami berbagai temuan yang muncul dalam proses persidangan. Namun Febri menegaskan, jik temuan itu murni perbuatan penyalahgunaan pajak maka menjadi kewenangan Ditjen Pajak.
"Jadi perlu diperhatikan benar-benar mana yang menjadi kewenangan KPK. Jika memang ada praktik (penerimaan suap) tentu akan kami dalami," kata Febri.
Tak menutup kemungkinan, kata dia, nama-nama yang disebut itu akan dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan Handang. Febri menyebutkan, selain bertugas membuktikan dakwaan jaksa juga mesti mencermati detail persidangan untuk pembuktian maupun pengembangan kasus.
"Terbuka pemeriksaan di persidangan jika saksi yang bersangkutan dianggap relevan atau atas permintaan hakim. Nanti akan kita simak dalam substansi perkara yang akan diuraikan dengan terdakwa Handang," katanya.