Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Imparsial Al Araf berharap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru nanti dapat menjadi pembeda dibanding hakim lainnya, terutama pemahamannya tentang hukum pidana dalam kasus penodaan agama yang kini ditinggalkan banyak negara di dunia.
"Meskipun cuma satu, kalau bisa ya jadi pendobrak," kata Al Araf saat diskusi bertajuk Menimbang Seleksi Hakim MK: Masa Depan Penegakan HAM di Tangan Pengawal Konstitusi di Kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (2/4).
Al Araf masih kecewa dengan keputusan MK sebelumnya yang tidak mengabulkan gugatan penghapusan pidana untuk kasus penodaan agama. Hal itu berdampak pada kegaduhan selama Pilkada DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dulu MK mengabulkan gugatan penghapusan hukuman pidana untuk penodaan agama, Pilkada DKI enggak akan seramai sekarang," kata Al Araf.
Menurutnya, tidak ada pertimbangan yang jelas untuk menghukum seseorang yang melakukan penodaan agama.
Al Araf menilai, para hakim MK tidak memiliki pemahaman yang komprehensif tentang perkembangan teori hukum pidana dalam lingkup internasional. Padahal, sudah banyak negara yang menghapus hukuman pidana untuk kasus penodaan agama.
"Yang termasuk kejahatan adalah penebaran kebencian atas dasar SARA sesuai dengan konvensi hak sipil dan politik," tegasnya.
Dia berpendapat, dibutuhkan hakim MK baru yang paham soal penodaan agama dari sudut pandang internasional.
Al Araf menambahkan, satu hakim MK memiliki hak untuk mengutarakan pendapat yang berbeda dengan hakim lainnya. Oleh sebab itu, satu hakim MK memiliki makna penting dalam perubahan di lembaga tersebut.
"Ini bisa menjadi tahap awal menciptakan perubahan atau reformasi dalam tubuh MK. Kalau enggak dimulai dari satu, nanti malah enggak mulai-mulai," ujar Al Araf.
Pendapat serupa diutarakan pengamat tata negara Bivitri Susanti. Dia juga berharap hakim MK yang baru dapat melakukan perubahan dari dalam. "Salah satu yang dapat membantu kita semua dalam melakukan perubahan dari dalam," katanya.
Sejauh ini, panitia seleksi (pansel) hakim MK sudah memilih 3 dari 11 calon hakim MK untuk diajukan kepada Presiden Joko Widodo.
Calon hakim MK tersebut, nantinya akan menggantikan posisi Patrialis Akbar yang terjerat operasi tangkap tangan dalam kasus korupsi.
 Mantan Hakim MK Patrialis Akbar bersiap menjalani pemeriksaan perdana di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta. (ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Seleksi Terlalu SingkatProses seleksi hakim MK pengganti Patrialis dinilai tidak optimal karena tahap wawancara yang dilakukan pansel terhitung terlalu singkat. Tahap wawancara dilakukan pada Senin (27/3) dan Selasa (28/3) minggu lalu.
Tujuh anggota pansel, yang terdiri dari dua ahli dan lima orang lainnnya, hanya mewawancarai calon hakim MK selama satu jam. Setiap anggota pansel hanya memiliki waktu 8 menit.
"Masing-masing orang (pansel) hanya dapat waktu delapan menit menggali pengetahuan peserta," kata Erwin Natosmal Oemar, peneliti Indonesia Legal Rountable.
Erwin menilai, waktu satu jam kurang untuk mengetahui kapasitas maupun kompetensi dan pemahaman seorang calon hakim MK.
"Misalnya, pemahaman calon (hakim MK) soal permasalahan di MK atau komitmennya menjadi hakim dan sikap terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia dan penguasaan teori-teori konstitusi," katanya.
Erwin takut hakim MK yang baru tidak sesuai dengan harapan publik. Apalagi, MK adalah lembaga yang berwenang mencabut peraturan bilamana berbenturan dengan kepentingan masyarakat.
"Waktu satu jam sangat formal dan publik tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan. Apa yang dipahami oleh calon," lanjut Erwin.