Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Hari-hari ini kita mendapat cecaran berita-berita tentang perseteruan yang seolah-olah tidak akan selesai antara rakyat Kendeng di Jawa Tengah yang menolak pabrik semen di daerahnya.
Penolakan masyarakat yang umumnya para petani merupakan hal yang wajar karena dengan keberadaan pabrik semen dan lokasi tambang, mereka khawatir lahan pertanian berikut sumber air yang menjadi andalan kehidupan terancam musnah. Persoalan ini semakin rumit bahkan ditinjau dari sisi geologi, hidrologi dan ekologi sekali pun.
Dari sisi geologi dan hidrologi, wilayah yang dipersoalkan masyarakat Kendeng adalah Perbukitan Watuputih di Kabupaten Rembang yang pada 2011 dinyatakan sebagai Cekungan Air Tanah (CAT) melalui Keputusan Presiden Nomor 26/2011 tentang Penetapan CAT. CAT ini berada seluruhnya pada sebaran batu gamping Formasi Paciran yang berumur Pliosen-Pleistosen (2-5 juta tahun).
Sebagaimana batu gamping pada umumnya, Formasi Paciran yang membentuk Perbukitan Watuputih mempunyai sifat dapat meluluskan air dan mengimbuhkan air hujan melalui sistem retakan atau disebut epikarst. Zona epikarst terbentuk mulai dari permukaan sampai pada kedalaman tertentu yang menjadi tempat zona jenuh air tanah berada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain melalui zona epikarst, imbuhan air dapat melalui retakan-retakan atau lubang-lubang terbuka yang langsung berhubungan dengan aliran atau sungai bawah tanah. Lubang-lubang seperti ini di permukaan batu gamping disebut sebagai ponor dengan bentuk yang bermacam-macam, bisa berupa lubang atau retakan.
Jika air yang mengimbuh melalui zona epikarst bersifat pelan dan tersimpan lama di dalam tubuh batuan, maka air yang mengimbuh melalui ponor akan teralirkan secara cepat menuju aliran sungai bawah tanah. Air yang berada pada zona epikarst akan juga mengisi sungai bawah tanah.
Keduanya akan muncul di mata air yang terhubung, baik dengan zona jenuh air tanah maupun dengan sungai bawah tanah. Dengan demikian, mata air karst yang berdebit sangat besar, misal lebih dari 5 liter/detik, diperkirakan terhubung ke aliran sungai bawah tanah walau gua sungai bawah tanahnya tidak dapat dimasuki manusia.
Mata air berdebit besar umumnya dipasok oleh air tanah yang tersimpan di zona epikarst dan biasanya bersifat permanen serta mengalir sepanjang tahun. Pada musim kemarau, mata air seperti ini akan terus mengalir, menandakan debitnya dipasok dari cadangan air tanah pada zona epikarst.
Pada musim penghujan, debitnya akan bertambah berkali-kali lipat karena ada pengaruh curah hujan yang masuk melalui ponor dan mengisi sungai bawah tanah secara langsung dengan cepat. Dengan sifat akifer seperti itu, yaitu lapisan batuan yang mampu menyimpan dan meluluskan air tanah, dapat dikatakan seluruh permukaan CAT Watuputih merupakan zona imbuhan air tanah.
Hal ini karena seluruh CAT Watuputih berada pada batu gamping dengan media penyimpan, dan pelulus air tanahnya bukan berupa lubang pori antar butir pada batuan, tetapi melalui sistem retakan (epikarst).
Dalam PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), daerah imbuhan air tanah merupakan kawasan lindung.
Permasalahan berikutnya adalah perdebatan tentang keberadaan sungai bawah tanah. Bagi beberapa ahli geologi, keberadaan mata air dengan debit besar seperti Sumber Semen dengan debit kira-kira 600 l/dtk dan Brubulan Tahunan kira-kira 100 l/dtk yang berada di kaki timur Perbukitan Watuputih, pasti melalui sistem aliran sungai bawah tanah.
Tidak mungkin mata air berdebit besar tersebut dikontrol oleh sistem retakan saja yang biasanya akan keluar dengan aliran pelan. Namun memang keberadaan sungai bawah tanah ini tidak mempunyai gua penghubung tempat kita bisa memasukinya sehingga seolah-olah tidak ada.
Hasil penelitian mahasiswa S2 Teknik Geologi UPN Veteran yang disponsori pabrik semen menunjukkan indikasi keberadaan sungai bawah tanah. Salah satu metode penelitiannya adalah dengan uji
tracer, yaitu pelacakan sungai bawah tanah dengan menginjeksi air laut dan air garam dari sumur bor di daerah Izin Usaha Pertambangan (IUP) pabrik semen.
Setelah air laut dan air garam dimasukkan, dalam empat hari kemudian, gejala peningkatan kadar garam terdeteksi di mata air Brubulan Tahunan yang berjarak sekitar 5 km dari lokasi IUP. Hal ini terhitung alian cepat yang menunjukkan bahwa lokasi IUP pabrik semen terhubung ke mata air Brubulan Tahunan melalui sistem retakan yang terbuka atau sungai bawah tanah.
Dari data di atas, boleh dikatakan bahwa CAT Watuputih selain hampir seluruh permukaannya merupakan zona imbuhan air, tetapi juga memenuhi kriteria Peraturan Menteri ESDM Nomor 17/2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).
Salah satu kriteria KBAK adalah keberadaan sungai bawah tanah. Artinya, sebagai KBAK, CAT Watuputih merupakan kawasan lindung juga. Dari penjabaran tersebut jelas, perdebatan mengenai CAT Watuputih sebagai kawasan ‘suci’ yang dilindungi semestinya dihentikan.
Menambang di Kawasan ‘Suci’Persoalan kemudian adalah, seluruh batu gamping yang tersingkap di wilayah Indonesia yang beriklim tropis, dengan sifat batu gamping yang mudah mengalami pelarutan oleh air hujan, bisa digolongkan ke dalam wilayah karst. Semua definisi tentang karst selalu merujuk kepada wilayah di permukaan bumi yang memperlihatkan proses pelarutan batuan, dan umumnya pada batu gamping.
Jadi pada dasarnya, semua wilayah batu gamping merupakan karst. Untuk itulah Permen 17/2012 memberi alternatif batu gamping mana yang harus dilindungi (yang memenuhi kriteri KBAK) dan mana yang bisa dieksplotasi.
Permen 17/2012 tentang Penetapan KBAK cukup adil yang bisa mewadahi aspirasi perlindungan karst dan pemanfaatan batu gamping. Namun dengan sifatnya yang mudah mengalami pelarutan (karstifikasi), boleh dikatakan sedikit wilayah batu gamping yang bebas dari KBAK.
Penelitian menunjukkan, kualitas batu gamping dengan perkembangan karst yang baik, biasanya berada pada kandungan senyawa kalsium karbonat CaCO3 yang tinggi. Hal ini pula yang sebenarnya diincar pabrik semen untuk mendapatkan kualitas bahan baku semen yang baik.
Jadi antara konservasi wilayah karst yang salah satunya sebagai cadangan sumber air bersih akan selalu bertabrakan dengan incaran industri semen yang menginginkan kualitas bahan yang baik. Keduanya berebut kue yang sama.
Pada akhirnya, saat pembangunan tetap memerlukan semen yang bahan bakunya belum bisa menggantikan batu gamping, perebutan antara tujuan konservasi dan eksploitasi mestinya terpulang kepada masyarakat yang berkehidupan di wilayah karst.
Setelah semua peraturan tentang perlindungan terlewati, misal bukan zona imbuhan air dan tidak memenuhi kriteria KBAK, dan lolos dari peraturan tentang perlindungan lainnya, eksploitasi karst bisa berlangsung setelah mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah karst yang akan dieksploitasi tersebut.
Jalan tengah yang saling membahagiakan pasti ada.
(rdk)