GNPF MUI Pertanyakan Dasar Hukum Maklumat Kapolri

CNN Indonesia
Selasa, 18 Apr 2017 12:29 WIB
Tim hukum GNPF MUI menyebut pelarangan Tamasya Al Maidah tak memiliki dasar hukum jelas. Publik bisa menilai itu sebagai bentuk keberpihakan polisi.
Sikap kepolisian melarang acara Tamasya Al Maidah bisa dicurigai sebagai bentuk keberpihakan. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tim advokasi hukum Gerakan Pembela Fatwa MUI, Kapitra Ampera mengatakan maklumat Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal larangan menggelar acara Tamasya Al Maidah  harus mempunyai payung hukum agar tidak membawa polemik dan dicurigai 'berpihak'.

Kapitra menyebut maklumat yang dikeluarkan Tito tersebut tidak mempunyai kekuatan seperti undang-undang. Hal itulah yang menurut Kapitra menjadi alasan panitia Tamasya Al Maidah menolak maklumat Kapolri.

"Larangan itu harus ada payung hukumnya. Karena masyarakat enggak bisa dilarang hanya karena kekuasaan. Aktivitas masyarakat dilarang kalau ada UU yang melarang," kata Kapitra kepada CNNIndonesia.com.
Tito kemarin mengeluarkan perintah kepada seluruh jajaran kapolda di Jawa dan Sumatera untuk untuk mengeluarkan larangan pengerahan massa dalam jumlah besar jelang pencoblosan putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Larangan ini akan berlaku bagi aksi Tamasya Al Maidah yang merupakan kegiatan mengerahkan massa mengamankan tempat pemungutan suara. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kapitra menyatakan kurang setuju dengan mobilisasi massa. Namun, jika tak ada dasar hukum, larangan kepolisian bisa menjadi alat kekuasan yang membatasi kebebasan warga negara. 

Maklumat Tito terhadap larangan acara Tamasya Al Maidah, kata kapitra dicurigai sebagai bentuk keberpihakan. Pasalnya, kata Kapitra, mobilisasi massa ke DKI tidak saja dilakukan oleh panitia Tamasya Al Maidah, melainkan juga oleh partai seperti PDIP.

Kapitra menyebut PDIP telah mengerahkan kader daerah untuk memenangkan Ahok-Djarot. Untuk itu, ia meminta Tito adil memberlakukan aturan tersebut agar tidak dicurigai memihak satu kelompok.

"Kalau tidak ada aturan hukum maka setiap aktivitas masyarakat tidak dapat dilarang. Kecuali dia melanggar hukum, nah itu filosofi negara hukum. Jadi kekuasaan tidak dapat melarang aktivitas masyarakat," kata Kapitra.
Sementara itu, hari ini Tito menyatakan larangan pengerahan massa saat hari pencoblosan adalah diskresi yang merupakan kewenangan kepolisian.

Diskresi itu, menurut Tito melekat pada kepolisian di seluruh dunia dan dapat dikeluarkan kepolisian demi ketertiban umum.

“Diskresi kepolisian yaitu kewenangan yg melekat kepada seluruh anggota kepolisian seluruh dunia untuk dapat menilai dan mengambil tindakan dalam rangka kepentingan publik,” kata Tito di Econvention Ancol, Jakarta. 

Maklumat berisi larangan pengerahan massa saat hari pencoblosan Rabu, 19 April nanti, telah dikeluarkan Kapolda Metro Jaya Irjen Iriawan sebagai tindak lanjut terhadap maklumat Kapolri. Hal serupa juga akan dikeluarkan oleh kepala polisi daerah di seluruh Jawa dan Sumatera.

Untungkan Calon Tertentu

Sementara itu pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar mengatakan bahwa acara Tamasya Al Maidah berpotensi merusak suasana jelang pemungutan suara.

Panitia Tamasya Al Maidah memang telah berjanji tidak melakukan intimidasi. Namun, menurut Idil, pengerahan massa tetap membawa dampak negatif, salah satunya adalah merugikan calon tertentu.
"Ini hanya ajang mobilisasi yang menguntungkan satu calon dan rugikan pasangan yang lain," katanya.

Atas dasar itu ia mendukung Kapolri mengeluarkan maklumat larangan pengerahan massa. Menurut Idil, cara elegan yang bisa dilakukan selain mengerahkan massa adalah dengan mengimbau warga untuk menggunakan hak pilih sesuai hati nurani.

"Ya saya kira kalau tidak suka Ahok ya jangan pilih, begitu juga dengan Anies. Besok adalah hari penghakiman kedua kandidat untuk kemudian siapa yang pantas untuk pimpin DKI," kata Idil.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER