Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan praktik korupsi pada pengelolaan kelapa sawit baik di sisi hulu dan hilir. Dana pungutan sawit adalah di antaranya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, masih ada tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektare di sektor perkebunan tersebut. Lemahnya mekanisme perizinan membuat sektor sawit menjadi rawan praktik korupsi.
Di sisi hilir, KPK juga menemukan pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit yang belum efektif karena tak ada verifikasi yang baik. Penggunaan dana kelapa sawit, habis untuk subsidi biofuel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Parahnya, subsidi ini salah sasaran dengan tiga grup usaha perkebunan mendapatkan 81,7 persen dari Rp3,25 triliun alokasi dana,” kata Febri dalam keterangan resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (24/4).
KPK menyatakan, dana itu seharusnya adalah untuk penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi serta riset.
Diketahui, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Mei 2015.
Dengan Perpres itu, dibentuk lembaga Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) yang diketuai oleh Bayu Khrisnamurti.
Namun Bayu mengundurkan diri pada Februari lalu dan digantikan oleh Dono Boestami.
Pungutan itu adalah US$50 per satu ton minyak sawit untuk kebutuhan ekspor. Pada pertengahan 2016, dana pungutan mencapai sekitar Rp5,6 triliun dan ditargetkan mencapai Rp10 triliun pada akhir 2017.
Belasan PerusahaanKajian KPK tentang Pengelolaan Kelapa Sawit mencatat, sedikitnya 11 perusahaan yang memperoleh dana perkebunan tersebut untuk program biofuel periode Agustus 2015-April 2016.
Perusahaan itu adalah PT Wilmar Bionergi Indonesia; PT Wilmar Nabati Indonesia; Musim Mas, PT Eterindo Wahanatama; PT Anugerahinti Gemanusa; PT Darmex Biofuels; PT Pelita Agung Agrindustri; PT Primanusa Palma Energi; PT Ciliandra Perkasa; PT Cemerlang Energi Perkasa; dan PT Energi Baharu Lestari.
“Perluasan penggunaan dana tersebut, terutama untuk pemanfaatan bahan bakar nabati,” demikian kajian KPK, “Jelas tidak sesuai dengan ketentuan Undang Undang Perkebunan.”
Dana pungutan terbesar diterima oleh PT Wilmar Nabati Indonesia yakni Rp1,02 triliun atau 31 persen dari total Rp3,2 triliun. Biofuel yang diproses oleh perusahaan itu mencapai 330.139.061 liter.
KPK menyatakan penggunaan dana itu oleh pelbagai perusahaan justru membuat pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan, tak akan tercapai. Selain itu, juga merugikan pelaku usaha perkebunan kelapa sawi dan pekebun rakyat.
“Sistem pencatatan penerimaan negara dari pungutan ekspor CPO tak berjalan sesuai peraturan perundangan,” demikian KPK. “Sehingga, menimbulkan ketidakpastian penerimaan negara.”
Lembaga antikorupsi itu juga menyatakan, ada kesalahan penggunaan dana dengan memberikan insentif berlebihah bagi perusahaan biofuel tersebut. Hal itu dapat menimbulkan ketimpangan dalam pengembangan usaha perkebunan sawit.
 Pekerja yang memproses Tandan Buah Segar sawit. (ANTARA FOTO/Budi Candra Setya) |
Penyelidikan KPKTerkait dengan pungutan dana sawit itu, Direktur Advokasi Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) Edi Sutrisno mengatakan, pengelolaan dana itu rawan penyalahgunaan. Oleh karena itu, KPK tak hanya berhenti pada tingkat kajian saja.
“Harus ada perluasan (penyelidikan) terkait dengan sektor sawit dan sektor kehutanan,” kata Edi ketika dikonfirmasi CNNIndonesia.com hari ini.
Dia menuturkan, pengelolaan pungutan dana sawit itu juga diduga mirip subsidi bahan bakar minyak (BBM) yakni ada praktik mafia di dalamnya. Apalagi publik tak mengetahui bagaimana pengawasan pengelolaan dana itu selama ini.
Edi menegaskan, dana itu diduga dibuat tak jelas karena bercampur antara dana untuk riset dan subsidi biofuel. Apalagi hanya belasan perusahaan saja yang menerima dana itu, dan sedikit sekali buat pekebun mandiri sektor sawit.
Pada 2015, riset TuK Indonesia-Profundo menemukan, 25 grup usaha sawit menguasai 5,1 juta hektare dari total lahan sawit 10 juta hektare. Perusahaan-perusahaan itu dimiliki oleh sedikitnya 29 orang terkaya di Indonesia.